fanfiction: Miyavi and Hyde
SAYANG SEKALI INI BUKAN FANFICTION YAOI!! XXD
Kacian deh lo yang udah ngarep!! *plak plak plak*
Okay, sebelum saya ditabok lebih jauh, mari kita mulai~~~
Oh, ya untuk memepermudah ijimanasi<hallah!>, ini ada sedikit unsur Intrinsik seperti yang saya pelajari dri belajar bhs. Indonesia bukan dari Guru sekolahan! :P
Setting : ff ini terinspirasi saat aku nonton Pv hyde shallow sleep, jadi tentu saja di Pv itu, dengan sedikit perubahan... yaitu posisi Hyde diganti dengan posisi Miyavi.
Sudut pandang :author serba sok tau
Alur :maju mundur kayak gosokan belum panas
Amanat :makanya jangan kebanyakan nonton PV suram! Nonton tuh MEMESHIKUTE!! XXD
-Xxx-
DOK! DOK! DOK!
Seorang kakek tua menggedor pintu gubuknya ditengah malam, dengan seorang pemuda terkulai dibahunya. Tangan kakek itu gemetar menyangga pemuda berambut pirang halus itu. warna marah pekat merembes dari sekitar belikat pemuda itu, menembus kemejanya dan terus menembus selimut yang disampirkan sekenanya oleh kakek tua itu. Keduanya diselubungi gelap malam yang dingin, membuat luka pemuda itu semakin meradang, dihembus dingin angin malam padang yang menusuk hingga ke sumsum. Keduanya tidak sabar untuk segera masuk ke gubuk reyot milik si kakek, yang entah mengapa bisa menemukan pemuda tertubuh mungil tersandar sekarat di nisan yang dilewatinya.
Malam itu seperti malam-malam sebelumnya, kakek yang biasa dipanggil Carl melewati pekuburan kuno yang dipercayakan walikota kepadanya. Salah, dibebankan. Pak walikota tersebut tidak memberikan dana yang cukup untuknya mengelola. Tuan-tuan tanah keluarga pemilik nisan dan peti mati hanya memberikan dana untuk pemakaman. Pas-pasan, tanpa tips. Sementara Carl kelelahan mengurus si mati, memandikan, memakaikannya make-up, memakaikan jas, mengatur bunga untuk perempuan, dan segala hal yang dipersiapkan untuk penguburan. Belum lagi untuk mengatur nisannya dan menggalikan liang lahatnya, kadang ia harus mengukir nama kalau yang memberikannya nisan tidak mengukirkannya, tapi dia sering menyuruh hal itu pada Miyavi, anak angkatnya. Mati saja bikin repot, gerutu Carl. Ia sudah berpesan pada Miyavi untuk tidak melakukan hal semacam itu kalau ia mati nanti. Cukup dibungkus dengan kain putih, lalu kuburkan. Jangan lupa berikan papan-papan supaya ulat-ulat, kelabang, dan segala serangga tidak menari-nari ria memakan dagingnya.
DOK! DOK! DOK! DOK!
Bocah sial! Buka pintunya! Gerutu Carl.
Ia tak punya cukup tenaga untuk meneriaki Miyavi —yang pasti tertidur nyenyak dan tidak mendengar— yang ada di lonteng lantai tiga rumah reyotnya setelah setengah mati memapah pemuda tersebut melewati luasnya pekuburan. Bahkan sempat terbesit di hati Carl bahwa ia menyesal menolong pemuda tersebut, yang cepat-cepat dihapuskannya. Carl teringat akan istrinya, yang juga mati sekarat didepan matanya. Sementara ia menyaksikan istrinya perlahan dicabut nyawanya, saat itu waktu serasa berjalan sepuluh kali lebih lambat. Ia menyaksikan wanita yang menemaninya selama 43 tahun berteriak-teriak melawan maut, lebih seram daripada saat anjing-anjing dan serigala melolong di tengah perkuburan seperti di film-film horor. Dan yang paling menyakitkan, ia tak berbuat apa-apa selain menggenggam tangan istrinya yang berguncang keras, menekankan setiap sendinya ke tangan Carl, dengan berharap rasa sakitnya akan berpindah ke Carl. Tentu saja, saat Itu Carl menangis tersedu bersama istrinya saat tahu waktu mereka takkan lama lagi, menjerit dalam hati andai ia bisa mengantikan posisi Istrinya. Tapi itu cerita dulu. Cerita yang tak diketahui oleh siapapun selain Carl dan —kalau memang ada—Tuhan. Dan cerita itulah yang membuatnya menolong pemuda ini. Setelah yang dialaminya dengan Istrinya, apa mungkin Carl menyaksikan untuk yang kedua kalinya seseorang, walau bahkan ia tak kenal, mati perlahan didepan matanya. Bagaimanapun juga, ia masih memiliki rasa kemanusiaan. Buktinya ia mau mengurus anak dari adiknya yang mati. Pemuda ini mengingatkannya pada istrinya. Keduanya cantik, langsing, dengan bibir mungil dan tengkuk serta bahu mulus. Bahkan alasan awal mengapa ia mau mendekati pemuda ini karena ia pikir ia bisa menyentuh pipi lembut seorang gadis yang terkapar di daerah kekuasaannya.
DOK! DOK! DOK! DOK! Untuk yang kesekian kalinya, dengan umpatan di hatinya.Carl tidak biasa mengumpat, apalagi untuk Miyavi.
Carl kembali menggedor pintunya, karena ia semakin gugup. Darah di beilkat pemuda disampingnya kini menetesi jari-jarinya yang melingkar menyangga tubuh pemuda di sekitar pinggul pemuda itu. Pemuda itu kembali terengah-engah. Berusaha memasukkan udara sebanyak-banyaknya ke paru-parunya yang kini serasa menyusut.
Miyavi tersentak dari tidurnya. Bahunya terangkat sedikit, reaksi dari kaget bangunnya. Alisnya berkerut, tanda ia masih berusaha beradaptasi dengan sekitarnya. Dia menggulung kembali tubuhnya, ia kedinginan. Tentu saja, dalam udara sedingin itu, Miyavi mengekrut dibawah bajunya yang tipis dan selimutnya yang hanya selembar dan nyaris transparan. Ia berguling sebentar dan berusaha menghilangkan rasa dingin itu dengan berbalik arah dan melipat kedua lengannya dan merapatkan kedua kakinya ke sekitar dadanya mencoba mendapatkan rasa hangat dengan memeluk dirinya sendiri. Ia ingin tidur lagi, karena dengan tidur ia takkan merasakan kedinginan, kesepian dan saat ini ia setengah mati kelaparan.
Namun Gedoran itu datang lagi. Maka Miyavi membuka matanya perlahan. Sesaat setelah ia bangun, matanya melirik Ke kiri dan kanan mencari cahaya di pojok kamarnya yang remang. Sudah beberapa tahun semenjak ia tinggal dengan Carl dia tak pernah mendapat listrik di kamarnya, hanya ada beberapa batang lilin di sekitar rak buku yang menjulang kelangit-langit kamar, yang telah meleleh di kamar itu dan semuanya kini sengaja dimatikan karena bulan malam ini terang, dan menyinari hampir sebagian kamar Miyavi. Jika siang ada sinar matahari menerobos dari jendelanya dan kebanyakan malam-malam belakangan ini bulan cukup terang. Dia menghela nafas panjang, mengingat lagi apa yang membuatnya terbangun ditengah malam. Gedoran. Carl sudah pulang, katanya dalam hati. Ia bangkit dan turun kebawah untuk membukakan pintu. Sesaat setelah Miyavi bangkit dari tempat tidurnya dan menginjak lantai batu yang dingin, angin malam berhembus lagi. Membuat Miyavi dengan ogah-ogahan menyambar selimut tipisnya dan menyelubungkan ke badannya.
“cepat! Bantu aku!” kata Carl bahkan ketika kunci masih diputar dan pintu masih tertutup.
Miyavi cukup kaget ketika melihat Carl pulang tidak sendirian malam itu, tapi dengan seseorang tersampir dibahunya. Seseorang yang kita-kira 20cm lebih pendek darinya dan Carl. Ia segera mengambil lengan orang itu dan menyampirkannya ke bahunya demi membantu Carl. Sesaat dia melihat orang itu dan ia langsung terkejut.
Ada seorang gadis mabuk nyasar ke pemakaman! Benar-benar kejadian langka!pikir Miyavi seketika.
Miyavi mengambil kesempatan tidak sadarnya gadis itu dan melingkarkan tangannya yang lain ke pinggul seperti yang dilakukan Carl sembari berjalan menuju sofa.
Carl membaringkannya, membuat selimut yang disampirkannya terjatuh meluncur dari pundaknya ke lantai, membuat Miyavi terbelalak menatap noda merah di selimut itu. lalu ia mengalihkan pandangannya ke belikat yang penuh darah. Darah itu mengalir kemana-mana, ke punggungnya, ke daerah pinggulnya, bahkan ke tangan Carl. Walaupun ia tinggal di pekuburan sekian tahun, ia tak pernah melihat darah segar mengalir begitu deras. Kebanyakan mayat yang datang sudah pucat dan kaku beku. Seberapa rusaknya pun mayat itu, tidak ada darah segar yang mengalir seperti itu. kalaupun ada darah itu menetes, bukan mengalir terus-menerus seperti yang terjadi di belikat gadis ini.
“ap-apa yang terjadi?” katanya, bayangan tentang gadis manis ini lenyap dengan cepat ketika Miyavi dengan panik menatap darah yang terus menetes. Carl berlari pergi meninggalkan Miyavi dengan tamu sekarat barunya. Miyavi panik, dia tidak baik dalam berinteraksi dengan orang hidup, apalagi yang sedang meregang nyawa.
“ergh...” erangan terdengar dari bibir mungilnya.
Miyavi menyentuh luka dibelikatnya dan berusaha membersihkan darah, namun nampaknya itu malah seperti menaburkan garam ke luka itu, Miyavi tak tahu bedanya, namun dia mengerah lagi, lebih keras dan kini disertai dengan wajah yang benar-benar kesakitan.
“Carl!!!” teriak Miyavi panik.
Tidak! Gadis ini tidak boleh dikubur! Tidak ketika dia mati dihadapanku! Pikir Miyavi panik. Carl datang sedetik kemudian, dengan berbagai obat dan segembung perban, Miyavi langsung menyambar semua itu, walaupun setelah itu dia bingung sendiri apa yang harus dilakukan. Yang jelas, rasanya akan jauh berbeda ketika digunakan dengan manusia hidup daripada yang telah mati.
“letakkan! Semuanya” kata Carl.
Miyavi menumpahkan semua perkakas tersebut ke meja di dekat sofa, membuat botol obat merah dan antiseptik jatuh bergelundung dari atas meja, dia dengan gugup mengambilnya lalu dengan panik mengawasi Carl melakukan apa saja pada gadis sekarat didepannya. Sekarat, kata-kata itu benar-benar asing di telinga Miyavi, yang selama ini hanya mengenal mayat, nisan, kuburan, pemakaman, dan pelayat.
Carl mulai membuka Kancing kemeja orang itu dan Miyavi yang masih setengah panik dan setengah kagum dengan wajah orang itu terbelalak lan menyambar bahu Carl dalam usaha menghentikannya membuka kancing lebih banyak.
“oi!! Apa yang kau lakukan!” kata Miyavi. Membuka baju seorang gadis?! Carl sudah gila!
Tapi Carl tidak berhenti melepas kancing dengan tangannya yang juga berlumuran darah mengotori kemeja putih, yang semakin turun... turun...
“hentikan! Kita tak bisa melepas baju gadis ini!” kata Miyavi mulai panik karena setengah dari dirinya bersemangat ingin melihat dan setengahnya ingin mencegah.
“ya, tentu saja kita bisa, bocah! Apa kau mau pemuda ini mati?” kata Carl kembali acuh.
“bisakaha kau mengobati dari punggungnya saja?” kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Miyavi, sebelum dia benar-benar mencerna perkataan Carl sebelumnya.
Pemuda?
Dan kekagetan Miyavi langsung terjawab ketika seluruh badan pemuda —Miyavi shock setengah mati— terbuka.Miyavi membelalakkan matanya.
Sial! Kupikir dia perempuan! Hanya kata-kata itu yang berulang terlintas di benak Miyavi. Dia tercengang menatap wajah si pemuda —masih shock— yang bagaikan malaikat. Cantik, manis, dengan Rambut pirangnya yang halus membingkai wajahnya. Miyavi nyaris tidak percaya kalau dia laki-laki dan sekali lagi melihat ke arah badan tanpa baju pria itu. Miyavi tersipu dan pipinya berubah menjadi merah jambu ditengah keremangan malam.
Memang pria. Cih! Bagaimana aku bisa keliru membedakannya dengan seorang gadis?!
“stop menonton seakan ini sirkus Meev! Ambilkan aku alkohol, senter dan benang jahit di lemari perkakas dan carikan aku buku pengobatan di lemari buku di kamarmu” perintah Carl. Dan Miyavi berlari tergopoh meninggalkan Ruangan untuk membawakan barang-barang yang diperintahkan Carl.
Tidak susah untuk menemukan benang jahit dan alkohol, mengingat betapa seringnya mereka menggunakan keduanya untuk mengurus orang-orang mati. Jika mayat yang diantar mati dengan tragis seperti kehilangan beberapa jarinya atau daging di pipinya tercungkil, maka mereka akan menyatukan daging yang tersisa. Tapi itu pada orang mati, walaupun mereka mengerjakan dengan mata setengah tertutup dan benang yang ditarik asal-asalan, orang —mayat lebih tepatnya— itu takkan mengeluh atau mengerang. Tapi ini benar-benar pada orang bernyawa, yang sedang sekarat, ditengah malam yang gelap dengan peralatan minim dan terutama skill yang minim! Miyavi gugup walaupun sekarang gugupnya bercampur kesal karena ia salah menyangka pemuda itu sebagai seorang gadis.
“meev!! Dimana bukuku?” teriak Carl samar dari lantai 1.
Miyavi menyalakan lilin dan menyusuri buku-buku itu. tidak bercanda, buku-buku itu memenuhi 2 bagian dinding kamarnya dan sampai ke langit-langit kamarnya. Bertahun ia tinggal di kamar itu ia tak pernah menyentuh atau bahkan melirik buku-buku tua tersebut. Buku itu seperti kitab, ada yang tebal, besar, dan berdebu. Pernah, dia ingat pernah satu kali menyentuh buku tersebut. Waktu dia masih baru-baru saja datang ke gubuk itu, sekitar berumur 16 tahun dan baru saja kehilangan kedua orangtuanya. Ketika Carl pertamakali menunjukan bahwa perpustakaan kecil itu akan menjadi kamarnya, Miyavi menggerutu dalam hati. Dia tidak begitu menyenangi buku, dia tidak senang membaca. Tapi suatu malam Miyavi sangat bosan dan Carl belum datang dari pergi entah kemana. Jadi Miyavi muda mulai menjelajahi rumahnya, dia pergi ke atap yang tangganya menyambung langsung dari kamarnya, tapi begitu langit menjadi mendung dan hujan, Miyavi kembali bosan. Dan rasa iseng menghampirinya. Dia berjalan menghampiri lemari buku dan mengambil buku secara acak dari lemari tersebut, dia mengambil buku terdekat dengan tangn kirinya yang tidak begitu tebal namun cukup berdebu. Beberapa halaman awalnya menempel satu sama lain karena entah sudah berapa lama tidak dibuka. Tintanya tembus ke halaman dibaliknya. Namun dari halaman pertama yang dilihat Miyavi berupa sebuah lukisan ilustrasi membuatnya menjerit dan melemparkan buku tersebut. Setelah itu Miyavi kapok membuka atau sekedar membaca judul di buku-buku tersebut. Dia mengacuhkan semua buku itu. toh, dia tidak butuh pelajaran otodidak bagaimana menggali kubur dan mengurus mayat.
“aku tak bisa menemukan bukumu” lapor Miyavi begitu dia turun menghampiri Carl dengan tangan kosong.
Carl tampak kecewa, namun tidak sepenuhnya menyalahkan Miyavi. Ia sendiri tidak tahu apakah buku tersebut masih ada. Carl Meyrahkannya sebuah senter tanpa berkata apa-apa, namun Miyavi mengarahkannya ke belikat Pemuda yang berbaring tengkurap di sofa itu.
Dan Carl mulai mengerjakannya, mulai menjahit kulit dan daging si pemuda itu. ia sesekali mengerang, bahkan berteriak kesakitan namun keduanya baik Miyavi ataupun Carl tidak mengacuhkannya. Mereka hanya menginginkan pekerjaan ini segera selesai dan bisa segera kembali tidur. Sementara Carl bekerja dalam diam, Pikiran Miyavi melayang kesana-kemari.
Kenangannya mengahmpiri seseorang yang tinggal di seberang kota, di sisi lain kota. Ia mengingat tentang Sabbine, gadis yang tinggal di salah satu rumah besar di perkebunan anggur.Miyavi pertama kali bertemu dengannya saat pemakaman kakak Sabbine, Amalara.itu sekitar beberapa bulan yang lalu. saat itu kakaknya pulang darimana, dan ia terserang penyakit. Seluruh dokter di desa berusaha menyembuhkan Gadis malang itu. namun nyawanya tak selamat, dan Amalara diserahkan selanjutnya pada Carl dan Miyavi. Singkat saja, tanpa ada kesan dramatis pada pertemuan mereka. Namun Miyavi takkan pernah lupa pada mata pucat itu. matanya abu-abu bagaikan bola kristal yang besar, nyaris bersatu dengan bagian putih matanya. Bagi Miyavi yang hidup dikelilingi oleh orang-orang asia bermata hitam atau coklat gelap, mata itu benar-benar menyihirnya. Bulu matanya lentik dan panjang, bersatu dengan hidung mungil dan pipi merona merah jambu. Mungkinkah saat itu dia menatap sebuah boneka? Matanya diselimuti aura duka membuat Miyavi terlempar ke theater gothic dan seakan menatap pemeran utamanya.
Miyavi bertemu lagi dengan boneka itu, sebulan setelahnya. Saat ia bergi jalan2 ke kota ditugasi Carl untuk membeli beberapa pisau dan obat2an lain. Carl juga menyediakan jasa Rumah Duka. Nampaknya kedatangan Miyavi bertahun-tahun yang lalu menggemparkan kota kecil itu. bahkan mungkin bisa disebut perkampungan. Segala berita menyebar dengan cepat keseluruh kota, sehingga nyaris tak ada detail yang ketinggalan. Kedatangan seorang pemuda oriental bertubuh tinggi langsing membuat setiap mata gadis-gadis melirik Miyavi. Memperhatikan setiap jalannya dan gerak-geriknya. Dan Miyavi menemukan mata kristalnya saat ia berpapasan dengan seseorang yang mengenakan topi besar berwarna ungu tua menutupi sebagian wajahnya yang menunduk. Nyaris setiap inci tubuhnya terbalut baju dengan warna serasi dengan topinya. Miyavi terpaku beberapa saat menatap wanita itu. dia tidak melihat wajahnya, hanya sebelah matanya yang bebas dari jala-jala ditopinya sebagai penghalang matahari. Tapi, Miyavi tak mungkin salah mengenali matanya —dan Auranya.
Dan kenapa Miyavi bisa terpikat dengan gadis ini? Tidak ada alasan pasti selain matanya serta aura dingin yang dipancarkan. Tidak, gadis itu tidak angkuh, dan cukup ramah pada orang-orang disekitarnya —menurut cerita orang-orang— namun itulah yang dirasakan Miyavi. Mungkin terlalu lama bergumul dengan mayat membuatnya merasakan kedinginan dan kehampaan dimana-mana, dan juga didukung matanya yang seperti kepingan salju di musim dingin. Beberapa kali Miyavi bertemu dengan gadis-gadis namun dia tidak merasakan perasaan ini, —dia enggan menyebutnya— cinta.