fanfiction: if I could reach through the sakura petals... (Shin Kagrra)

❀Mood Maker: 桜月夜- Kagrra & Alone en La Vida- L’Arc~en~Ciel ❀

Faded yume maboroshi kizamu ashiato kasumiyuku (telah lenyap ilusi mimpi, jejak kaki terpahat menjadi berkabut)
Tooku haruka na tabi sore mo ichijin no toori kaze (jauh, perjalanan yang sangat jauh itu pun sebuah jalan pertahanan angin)
Sono setsuna, kyoushuu mune wo kogasu (sesaat itu membuatku teringat akan kampung halamanku)
Mou yuku koto mo nai ano fuukei (tidak juga pergi pemandangan itu)



Shin mengendarai Mobilnya, akhirnya dia bisa pulang kampung setelah sekian lama berkelut dengan kebisingan Tokyo demi mengurus band-nya.
[tadaima...] katanya dalam Hati walaupun dia belum juga sampai di rumahnya, shin saat ini masih berada di perjalanan menuju kotanya. Kota kampung halamannya ini tentu saja tidak sebising Tokyo. Walaupun begitu, keduanya merupakan tempat dimana diri dan kepribadiannya terbentuk.
Sambil mengendarai mobilnya dengan kecepatan 40km/jam, matanya tidak henti-hentinya menjelajahi jalan-jalan yang dirindukannya. Pikirannya juga berlomba mengingat kenangan-kenangan apa saja yang terjadi di tempat itu
[di toko itu sewaktu masih SD aku sering membeli es krim, ah aku pernah jatuh dari sepeda di tikungan itu dan dibantu oleh paman penjual ubi rebus yang sering berada di sekitar situ saat SMP...]
Pemandangan yang belakangan selalu dia bayangkan, apalagi saat Izumi dan Manajernya mengiming-imingi untuk menjanjikannya libur untuk pulang kampung setelah proses pembuatan Single ⌈Shiki⌋ selesai. Sebenarnya bisa saja dia pergi duluan setelah proses rekaman dan syuting video selesai, tapi Isshi bersikeras untuk menyuruhnya melakukan wawancara bersamanya untuk sebuah majalah musik.
“Shin-kun ikut lah bersama Isshi untuk melakukan wawancara. Lebih baik kalau yang membuat lagu ada di sana kan?” kata Izumi saat meeting untuk menentukan wakil saat melakukan wawancara.
Lagi, matanya menjelajah menatapi kotanya yang sudah sore, matahari yang condong membuatnya selalu mengingat tentang masa-masa yang menurut orang paling indah. Saat SMA-nya. Tanpa sadar bibirnya membentuk sebuah senyum kecil. Dia masih ingat bagaimana dia bertemu dengan seseorang yang spesial. Ah, bukan bertemu. Ketika dia akhirnya menyadari kehadiran orang itu.


Michisaki ni asu ga dore kurai matsu darou ka? (di ujung jalan hari esok seberapa lamakah harus menunggu?)
Kono inochi wa mada tabi no tochuu... (jiwa ini masih berada di tengah perjalanan ...)
and so I go (dan begitulah aku pergi)



Kelasnya sangat ricuh, tampaknya setiap anak berniat berbicara lebih banyak dari yang lain, Makoto Hashimoto dengan acuh kembali memasang headsetnya. Saat itu ia merasa benar-benar bosan, maka dia mengedarkan pandangannya ke seluruh kelas. Saat itu matanya menangkap salah satu temannya keluar dari kelas dengan acuh.
[heh? Memangnya boleh saat ini keluar kelas?] tanyanya dalam hati. Namun seperti dugaannya, semua teman sekelasnya tampak sibuk karena guru yang mengajarnya hari itu berhalangan masuk.
“airi-chan menghilang lagi ya?” kata salah seorang teman sekelasnya
“hihihi, pasti dia menghilang! Airi-chan mana pernah tahan dengan sekolah kan?” sahut yang lain. Lalu dia sadar, orang yang dilihatnya tadi keluar kelas memang teman sekelasnya Airi. Gadis yang gosipnya pernah terlibat perkelahian dengan gadis dari SMA lain, membuat Shin merasa risih berada di sekitarnya. Toh sejak kapan dia pernah peduli dengan gadis-gadis dikelasnya.
Akhirnya shin memutuskan untuk pergi ke perpustakaan yang berada di tingkat paling atas dari gedung sekolahan mereka. Dan seperti Airi, dia menyelinap diam-diam.
Shin sudah akan menuju perpustakaan, melewati tangga yang menuju atap, ketika dia menyadari ada bunyi berdentang-dentang yang datang dari arah situ. Dia menjadi penasaran dan mengurungkan rencananya untuk menuju perpustakaan, menundanya sebentar.
Kakinya melangkah perlahan, membawanya naik terus ke anak tangga yang lebih tinggi. Sambil telinganya terus menikmati suara yang datang seperti salju itu. jatuh perlahan, berayun sesaat di penglihatan dan pendengaran. Ketika mencoba menangkapnya, salju itu merembes membekas di telapak tangannya. Seperti nada-nada yang dimainkan itu, membekas di hatinya.
Fadeless setsunai hibi, yorokobi no hi to koi no kioku (tak lenyap hari-hari yang menyedihkan, hari yang membahagiakan dan ingatan tentang cinta)
Soshite shirieta mono kanashimi no ai wo kutsugaesu ai (dan jurang yang telah kuketahui, simpati rasa sedih menyelubungi cinta kita)



Fui ni mita joukei ai rashii hodo (tiba-tiba aku melihat bagaimana rupanya adegan cinta)
Minareta hazu no machinami (jalan yang terasa terbiasa dengannya)


Shin membuka pintu yang mengubungkan tangga dengan atap, kuncinya masih bergelantungan di situ. Suara dentangan itu dalam, dan semakin jelas.
“airi!”
Dan yang disebut namanya langsunng menoleh begitu saja, angin yang kencang menerbangakan rambut airi.
“ah... Shin? Ada apa?” katanya sambil menyibakkan rambutnya.
“ah... uhm” Shin merasa kaget dan tidak dapat berbicara. Dia tidak berharap menemukan orang itu sedang memainkan alat musik yang menurutnya sakral itu. tidak dengan Airi “kurasa... sebaiknya aku tidak mengganggumu” katanya, kemudian pergi begitu saja. dia merasa canggung melihat Airi memainkan –bukan sekedar memegang- koto.
Shin kembali masuk ke dalam, sebelumnya dia berdiri di belakang pintu yang menghubungkan ruangan tempat dia berada dengan atap, tempat Airi dan alat musiknya. Beberapa saat dia mendengarkan dan berdiri dalam hening. Menunggu dentang-dentang tadi. Namun suara dentang yang dia kira akan segera muncul tidak datang juga, maka Shin beranjak pergi.
Shin membaca komik sementara ia di perpustakaan. Tiba-tiba dia terbayang dengan alat musik yang dimainkan Airi tadi, dan dia segera mencari buku tentang alat musik tradisional.
Koto. Alat musik yang dipetik itu namanya koto.
‘Berbeda dengan shamisen yang dimainkan seperti gitar, koto dimainkan dalam posisi alat musik itu dibaringkan. Koto mempunyai senar yang jauh lebih banyak dibanding shamisen yang hanya 3. Nada yang dihasilkan koto juga cenderung lebih rendah. Selain itu, terdapat perbedaan dalam cara memetik shamisen dan koto’ begitu menurut keterangan di buku. Dia memandangi gambar itu sejenak dan dia membayangkan Airi sedang memangku koto tersebut di pahanya. Lalu angin-angin yang membuat rambunya berkibar-kibar, menerbangkan dentang-dentang koto menyusup ke hati Shin.
Shin menutup buku yang dibacanya dalam waktu singkat. Dia terbayang perkataan teman sekelasnya tentang Airi.
“Airi? Airi teman sekelas kita itu? aku dengar dia sempat masuk panti rehabilitasi untuk anak-anak yang memakai obat!”
Bisa saja gosip ini tidak benar, namun kenyataan bahwa ada saja alasan untuk seseorang membuat gosip tentang Airi membuatnya risih. Dan Shin bukan sekali-dua kali mendengar gosip aneh tentang Airi.



Anata to deaete yokatta sore de juubun (syukurlah aku dapat bertemu denganmu, itu sudah cukup)
Kono inochi wa mada tabi no tochuu...and so I go (jiwa ini masih berada di tengah perjalanan ... dan begitulah aku pergi)
Alone en la vida



“tadaima!” serunya saat ibu dan keponakannya menyambutnya di pintu. Shin belum mengangkat tas dari mobilnya, dia mendahulukan untuk melepas rindu dengan keluarganya seletah beberapa lama tidak bertemu.
“ojiisan! Ojiisan!” seru keponakannya yang masih berumur 5 tahun, dia datang dengan mengacun-acungkan yogurt di tangannya yang mungil.
“hahaha! Untukku!” katanya saat merebut yogurt tersebut.
“Makkun ayo makan dulu, jangan makan yogurt sebelum makan malam” kata ibunya memperingatkan Shin dengan panggilan kecilnya.
Selesai makan dia langsung mandi air hangat dan masuk ke kamarnya. Malam begitu tenang, karena berbeda dari apartementnya di Tokyo yang memang terletak dekat stasiun yang cukup ramai, rumahnya jauh. Malam itu dari kamarnya di lantai dua dia memandang kebawah ke jalanan yang remang dan kosong, di sini dia merasa begitu dekat. Entah merasa dekat dengan apa. Mungkin dia merindukan hidup sebagai Makoto Hashimoto, mungkin juga dia merindukan ketenangan.
[eh... bukan berarti aku tidak bersyukur pergi ke Tokyo dan bertemu mereka... tentu saja aku senang. Tapi... sekali-sekali aku butuh ketenangan. sendirian] pikir shin sambil memikirkan tingkah teman-temannya yang ricuh, terutama Nao.
Tapi di sini, dia merasa seperti diselimuti keheningan yang hangat, harum yang manis dan ringan. Segala sesuatu yang dia inginkan berada di sini. Di rumahnya dia bebas berdiam diri tanpa terganggu ocehan teman-temannya. Perasaanya membuncah. Dia merasa dia tahu tujuannya, dan disisi lain dia tahu dia takkan sampai ke tujuannya itu.
Angin malam berhembus lalu dia mengadahkan kepalanya, ternyata bulan sedang dalam keadaan penuh dan warnanya nyaris seperti putih.
Di kota ini dia merasakan perasaan yang begitu murni, begitu tulus. Dengan jelas Shin merasakan bahwa dia masih memiliki rasa itu, bahkan setelah bertahun-tahun berlalu. Masih jelas kenangan-kenanganya.
[cukup untukku jika aku dapat bertemu denganmu lagi...]
Angin malam berhembus lagi. Dalam kebisuan malam, gemerisik ranting-ranting dan kelopak sakura yang mekar, dentang-dentang koto selama 12 tahun menyusup dan menggema di hatinya. Membuat Shin untuk kesekian kalinya merasa dekat dengan orang itu. merasa begitu dekat hingga dia merasa bisa meraih bahunya di antara dentang-dentang tersebut. Shin merasa bisa mengelus rambut Airi jika dia meraihkan tangannya menerobos ranting-ranting sakura di pohon dekat jendela kamarnya.
Shin begitu merindukannya. Dia memandang jauh ke kaca yang buram karena embun di malam hari, memikirkan perilakunya. Shin melihat kelopak sakura jatuh berkibar di depan pandangannya, berfikir untuk menangkapnya. Tapi akhirnya dia membiarkannya jatuh dan memandanginya. Kenangan-kenangan yang mengapung lemah di ingatannya terbawa arus waktu, namun perasaan yang ditinggalkannya begitu kuat dan terus berkilau bersama sebuah cahaya yang tidak juga pergi.



Michisaki ni asu ga dore kurai matsu darou ka? (di ujung jalan hari esok seberapa lamakah harus menunggu?)
Dareka no tame ni kokoro wo tomosu darou ka? (demi siapakah hatiku menyala?)



“eh? Shin-kun sekarang berteman dengan Airi?” kata salah satu teman sekelasnya.
“ah, uhm...” kata Shin bingung. Entah kenapa dia merasa aneh jika meng-iya-kan.
“eeh? Benarkah?” kata temannya yang perempuan kebetulan berada di dekat situ. Mereka tampak terkejut dengan pertanyaan itu.
[sepertinya memang dampak buruk gosip itu membuat yang lain segan berteman dengan Airi...]
Memang dia jarang melihat Airi berkumpul saat makan bekal. Dia memakan bekalnya dengan tenang di depan sendirian.
“Airi yang itu? yang katanya...” kata teman perempuannya itu terhenti, dia memandang Shin dengan penuh arti dan menggantungkan kalimatnya “ah... sebaiknya aku tidak beritahu” katanya lagi.
“apa?”
“Shin tidak tahu? Airi itu bukan gadis baik-baik. Sebaiknya Shin tidak usah berdekatan dengan dia lagi” kata gadis itu polos. Walaupun sebelumnya dia berkata untuk tidak memberitahu, tetap saja akhirnya rahasia umum itu sampai ke telinga Shin.
“tidak baik... bagaimana?” kata Shin. Sebagian dirinya tidak ingin tahu, dia tidak ingin terlibat dengan gosip ini. Namun... keingintahuannya menang, lagipula dia tidak harus percaya dengan cerita mereka kan?
“eh... dia itu sering berkeliaran di jalanan. Berkumpul dengan para Yanki. Walaupun dari luar kelihatannya biasa saja, tapi dia beberapa kali terlibat perkelahian” kata gadis itu lagi. Shin dan temannya yang seorang lagi mendengarkan dengan khusyuk.
“nah, itu dia Shin. Sebaiknya kau menjauhinya, ini demi kebaikanmu juga kok” kata temannya lagi, kini dia sudah sependapat dengan gadis itu.
Shin diam memikirkan pernyataan temannya itu.
Selama ini shin tidak pernah berfikir sejauh itu. setidaknya walaupun sebelumnya dia sudah mengetahui tentang gosip itu pun dia tidak pernah memikirkannya. Saat-saat bersama Airi mendentangkan Koto nampak jauh lebih nyata dibandingkan dengan semua gosip itu.
sudah hampir beberapa bulan semenjak dia pertama kali bertemu Airi di atap. Dan semenjak saat itu Shin sering mengobrol dengannya. Mungkin karena gosip bahwa Airi seorang Yanki membuatnya terlindung dari gosip lain bahwa Shin berkencan dengan Airi.
Sebenarnya... adalah bohong besar jika Shin tidak ingin berkencan dengannya. Tapi bagaimana?
“ne, shin-kun sedang ada masalah?” kata Airi siang itu. keduanya sedang berada di atap, shin dengan gitar akustiknya, dan Airi dengan Koto-nya. Tidak salah lagi bahwa dia cukup mahir memainkan Koto maupun shamisen.
“ah... tidak” katanya.
[gosip yang tadi bukan masalah, kan?] tanya Shin pada dirinya sendiri. Entah mengapa untuk sekali ini dia merasa benar-benar risih.
[Lagipula memangnya kenapa sih kalau Airi memakai obat? Aku juga tidak berhak melarangnya kan?]
Shin memandangi gadis yang memangku koto di sebelahnya, bertanya-tanya sejauh apa dia mengetahui tentang gadis itu. sebuah perasaan tumbuh dan menjalar dengan cepat di bulan-bulan selama mereka duduk dan bercerita bersama. Perasaan itu berubah menjadi petikan-petikan gitar dan koto diantara keduanya. Sebuah bahasa tanpa kata dari Shin untuk Airi untuk menyampaikan perasaannya.



Hanayaka na toki ga sabishisa magiraseru yo (waktu yang gemerlapan dapat membedakanku dari kesepian)
Anata e no ai ga watashi no akashi (cinta untukmu adalah buktiku)
Ashiato hitotsu nokosenakutemo (bahkan tidak meniggalalkan sebuah jejak kaku)
Kono inochi wa mada tabi no tochuu...and so I go (jiwa ini masih berada di tengah perjalanan ... dan begitulah aku pergi)



“Makkun! Mau tidur sampai jam berapa?” kata ibu Shin menyibakkan Selimut futonnya.
“uh... uh” erang Shin. Padahal memang tujuannya ke kampung halamannya adalah untuk bermalas-malasan.
“bangun! Dan bersiaplah!” kata Ibunya lagi “ibu sudah memberitahu keluarga Yuuka bahwa kau akan datang pada saat makan siang jam 1 nanti. Tidak baik membuat mereka menunggu” kata ibunya sambil melirik jam di kamar itu, sudah jam 12 lewat.
[yang benar saja...] pikir ibu Shin. Namun di sisi lain dia memaklumi kelakuan putranya itu. bahkan dia ingin sengaja memanjakannya jika saja tadi tidak bertemu dengan Yuuka-san dan beliau menanyakan kedatangan Shin. Maklum saja, sebelum pindah ke Tokyo, Shin memang sering bermain ke rumah keluarga Yuuka.
[ke rumah Yuuka Airi!] tiba-tiba Shin tersentak saat ibunya menyuruhnya untuk berkunjung ke rumah Airi.
“ibu~ kenapa aku harus berkunjung ke sana?” rengek Shin.
“tadi Yuuka-san kan menanyakan tentangmu, dan menyuruhmu untuk mampir ke rumahnya”
Shin masih belum bergerak dari futonnya.
“kamu tidak ingin berkunjung ke sana?” dengan satu pertanyaan telak ini akhirnya Shin menyerah.
Akhirnya Shin bangkit dan bersiap-siap menuju kamar mandi.
“sebelum pergi nanti bawa Rissoto yang sudah ibu panaskan ke rumah Yuuka ya!” kata ibunya sesaat sebelum ruang pendengaran Shin ditutupi oleh suara air dari pancuran.
[ah, bohong saja kalau aku pulang kalau tanpa ada niat ke rumahnya]
Jam 1 kurang 10 menit Shin sudah memencet bell rumah keluarga Yuuka. Dan benar saja, Yuuka-san langsung menyambutnya. Yuuka-san –ibu Airi– adalah seorang janda, walaupun begitu penampilannya tetap anggun.
“ah... shin-kun! masuk masuk” katanya sambil melebarkan pintunya.
“ini ada sedikit titipan dari Ibu” kata Shin basa-basi sambil menyerahkan Rissoto.
“wah, terimakasih. Padahal tidak perlu repot-repot” katanya sambil memberikan sandal rumah kepada Shin lalu menerima mangkuk Rissoto.
“Shin-kun mau bertemu airi-chan dulu?” tawar Yuuka-san halus
“ah, tidak perlu... nanti saja, Bi. Nanti masakannya keburu dingin” tolak Shin dengan sopan.
Akhirnya keduanya makan berdua sambil sesekali berbincang tentang kegiatan Shin di Tokyo, diluar dugaan Yuuka-san mengoleksi Album-Album Kagrra, membuat Shin merasa sangat tersanjung. Sesekali Shin juga menanyakan tentang keadaan Yuuka-san. Keduanya sangat Akrab karena Yuuka-san sudah menganggap Shin sebagai anak sendiri. akhirnya suapan puding terakhir habis, dan saat-saat itu bisa datang kapan saja, saat dia akhirnya memandang Airi. Shin menjadi gugup dan menegak sisa Air putihnya hingga habis.
“bibi akan ada di taman belakang Jika Shin-kun mencari. Silahkan Shin-kun berkeliling” kata Yuuka-san lalu bangkit dari kursinya setelah diam beberapa saat dan mengangkat piring-piring bekas mereka makan.
Ini merupakan tanda baginya, atau bisa dibilang Yuuka-san mempersilahkannya untuk menemui Airi. Sejenak dia memandang Yuuka-san yang menyirami bonsai-nya.
Shin berjalan menuju ruangan lain dengan pintu geser dan membukanya perlahan sehingga menimbulkan suara yang khas. Begitu dia masuk, langsung dia bisa melihat Airi. Dia membelakangi jendela tinggi yang memperlihatkan taman yang hijau dan beberapa pohon yang cukup rendah dan semak-semak bunga. Dia tersenyum manis.
[Airi... Hisashiburi da ne...]
Ruangan hening
[ah... apa kabarmu? Tidak, jangan jawab. Aku tahu kamu pasti baik-baik saja dan pasti terus memainkan koto-mu di surga sana]
Ruangan masih hening, tapi Shin membayangkan Airi menjawab dengan lembut: “benar. Aku selalu berjanji untuk baik-baik saja demimu Shin-kun”
Shin masih menatap Airi dengan senyum yang sedih, tetap saja foto itu tersenyum manis dengan pandangan kosong. Shin menarik nafas sebelum dia duduk bersimpuh di tatami yang ada di depan bufet altar Airi. Dia menyalakan 3 batang dupa di kiri dan kanan foto Airi, lalu mulai berdoa dan menghayal sedang bercakap dengan Airi dengan kepala tertunduk. Ruangan masih hening kehilangan jemari yang biasa membunyikan koto, terus begitu semenjak 12 tahun yang lalu dan Shin menyatukan tangannya untuk berdoa.
[airi-chan... terakhir kali aku datang 5 bulan yang lalu. bertahun-tahun aku tetap merindukanmu, sepanjang waktu itu terasa selamanya untukku, aku menunggu hari dimana aku bisa menyusul kesana untuk bisa kembali bersandar di pundakmu. Namun aku juga merasa baru kemarin kita duduk di atap memetik-metik gitar dan koto. Semua yang kurasa begitu ganjil. Namun ini perasaan yang tulus, maka aku terus menjalaninya]
[“Shin-kun... semua yang ada di antara kita hanya terjadi tak lebih dari sekejap. Namun semua itu jauh lebih berharga daripada 16 tahun hidupku. Tolong jangan khawatirkan aku shin-kun, seperti janjiku sebelumnya. Aku berharap bertemu denganmu sedikit lebih awal. Tapi Shin-kun...”]
[airi-chan, istirahatlah dengan damai di tempatmu sekarang]
Shin membuka matanya dan berlama-lama menatap senyuman Airi itu. yang selama mereka berteman hanya pernah dia lihat beberapa kali. Shin merasa ngilu di dasar hatinya, dia ingin menangis. Udara yang hangat dan suara-suara yang tentram begitu mengingatkannya akan suasana setiap kali mereka bermain gitar dan koto, selalu begitu. Setiap kali dia di ruangan ini, membayangkan bercakap dengan Airi ataupun mengingat kenangan-kenangan mereka, rasa sedih dan frustasi selalu membuatnya ingin menangis. Demi tuhan, jika bukan karena dia membayangkan Airi bersedih disana melihatnya menangis, dia akan menangis dan menjerit. Begitu pedih luka yang harus ditanggungnya selama ini, tapi Shin tidak sekalipun menangis setelah hari pemakaman itu. karena dia telah berjanji untuk tidak menangisi kepergian Airi, janjinya pada airi dan pada dirinya sendiri. Seakan Airi yang hidup di dalam benaknya melarangnya untuk menangis. Shin meratapi, mengutuki dan mengumpat semua perasaan yang tak sempat ia sampaikan ke Airi semasa hidupnya. Kenapa aku begitu pengecut, kenapa aku tidak berani untuk menyatakan perasaanku? Kenapa aku begitu bodoh? Begitu pikirnya berulang-ulang setiap menatap foto Airi, berharap sekali lagi dapat menggenggam tangannya dan mengucapkan satu kalimat itu.
[“...tapi, Shin-kun. aku senang bertemu denganmu walau hanya di akhir hidupku. Aku titipkan dentang koto-ku Shin-kun...”]
[pasti, Airi]
Di penghujung musim semi itu salju sudah lama mencair dan sinar matrahari hangat menerobos pepohonan di samping rumah almarhumah Yuuka Airi. Shin membayangkan kelopak sakura yang tadi malam dilihatnya. Dia bisa saja meraihnya dan menyimpannya, tapi tidak dilakukan. Shin merasa kejadian tadi malam benar-benar merefleksikan keadaannya dengan Airi. Dia bisa saja mengungkapkan perasaannya, entah setelahnya dia akan Jatuh ke tanah ataukah menjadi kelopak sakura yang ditangkap Airi. Tapi tidak... Shin tidak pernah sempat menyatakan perasaannya. Dan sekarang sudah sangat terlambat.
Bahkan terlambat untuk berharap bisa kembali ke hari-hari itu. dia tahu dia takkan bisa kembali.


A life of no regrets (sebuah hidup tanpa penyesalan)


“airi tahu jika teman-teman memberitahuku bahwa Airi menggunakan narkoba?” tanya Shin datar di sela-sela petikan gitar akustiknya
“tidak...” katanya lagi, sambil terus menatap ke arah langit, angin menyibakkan rambutnya
“jadi... apa itu benar?”
“tidak” dengan senyum lembut dia berkata sambil memandangi senar-senar kotonya. Mengalihkan tatapannya dari mata Shin.



A life of no regrets (sebuah hidup tanpa penyesalan)



“ne! Ne! Tahu Yuuka Airi? Yuuka Airi yang katanya anggota genk Yanki itu?” kata seorang gadis yang berada tak jauh di dekat Shin saat berada di lapangan. Kelas Shin sedang olahraga dengan kelas lain.
“he... cewek yang rambutnya dicat putih itu? tahu, tahu!” kata yang diajak bicara
“dia meninggal! Karena overdosis!” si gadis yang satu bercerita dengan semangat, sebuah senyum kecil melengkung di bibirnya karena mendapatkan berita terbaru ini.
“hah? Bohong!”
“benar! aku dengar dari temanku yang sekelas dengan Yuuka bahwa wali kelas mereka mengumumkan begitu. Mereka juga diperingati untuk tidak menggunakan narkoba. Hahaha Matsuyama-sensei memang kolot!” kata gadis itu
“hee... yang seperti itu juga ada di sekolahan kita ya?” katannya tercengang “biarkan saja, bodoh juga si Airi itu jika memakai obat hingga diluar kendali begitu”
Mereka berdua tertawa-tawa menceritakan tentang seseorang yang berharga bagi Shin. Namun tetap saja Shin tidak melakukan apapun. Dia merasa muak dengan dirinya sendiri yang tidak juga melakukan apapun. Merasa begitu pecundang dengan membawa penyesalan di setiap tarikan nafasnya.
[seberapa jauh sebenarnya aku tahu tentang seseorang yang berharga untukku?]
Masih, dia masih berharap untuk sebuah hidup tanpa penyesalan.

haru no kaori no ni saku adabana (harum musim semi yang semerbak di padang bunga)
yuki o tokasu to more hi yo (salju mencair matahari bersinar menembus pepohonan)
anata o machiwabita toki o (saat dimana aku menunggumu)
omoeba setsunakute (jika aku mengingatnya menjadi sangat menyedihkan)
⌈終わった! 終わった!⌋
Yeiiy!!
Ini mungkin salah satu Fic yang paling cepat selesai, Cuma 2-3 hari! Fic ini ada dengan latar belakang pemikiranku “keknya udah lama aku nggak bunuhin Chara...” tapi untunglah saat ini bukan menbaa kagura yang kubunuhin.
=_=Ⅰ∣
Selain itu aku emang udah lama pengen bikin FF tentang Pv ‘Sakura Zukiyo’-nya Kagrra. Pertamanya aku ngerasa fic ini Bakalan didasarkan pada PV ‘Shiki’ tapi menurut aku Shiki liriknya lebih condong nge-gambarin perasaan, sementara ‘Sakura Zukiyo’ lebih ke alur cerita dan settingnya, selain itu aku juga kalimat-kalimatnya inspirasi dari lirik itu.
Aku juga bingung mau make chara siapa lagi, pertama aku pengen make menbaa The GazettE sbg main chara, tpi perasaan aku kek kurang pas... yah, sudahlah. Akhirnya aku memutuskan untuk memakai Shin-nya Kagrra saja.
Oh ya, selain itu... tentang pembuatan single ‘Shiki’ yang sempat disinggung di awal, disitu aku membuat Izumi berkata bahwa pembuat single tersebut adalah Shin. Tapi aslinya aku nggak tau siapa yg buat, gomen. Aku hanya mengandalkan kemampuan menghayalku :3

Aylopyu Shin! Semoga menbaa kagura bisa main sepanggung lagi, walopun tanpa Isshi-san

Postingan populer dari blog ini

Hitomi no Jyuunin- L’Arc~en~Ciel (indonesian translate)

Sangatsu Kokonoka- REMIOROMEN (Indonesian translate)

ENDLESS RAIN- X JAPAN(Indonesian translate)