FanFiction: that supposed to be your name(Nao ex-Kagrra)
Cerita ini terinspirasi saat saya ngebaca kumpulan novel punya... Leila S. Chudori –Malam Terakir-
wait... yang kayak gini bisa disebut plagiat nggak yak? XXD
ah whatsoevaa~~!! nggak tau deh, pokoknya saya lagi berhasrat untuk nulis sesuatu menghabiskan liburan saya ^^
wait... yang kayak gini bisa disebut plagiat nggak yak? XXD
ah whatsoevaa~~!! nggak tau deh, pokoknya saya lagi berhasrat untuk nulis sesuatu menghabiskan liburan saya ^^
Sudut pandang ini berdasarkan cowok yang kurang beruntung terhadap nasipnya. Cowok itu kini harus pasrah menjalin hubungan dengan seorang cewek egois yang menggerakkan blog ini. Poor him...
v(=..=)v
v(=..=)v
Kira-kira beginilah pandangan seorang cowok kali yak? Hah, entahlah... pokoknya awalnya saya ngebayangin cowok itu(cowok saya) sebagai toko utama, tapi seiring keyboard saya bergemeletuk, saya mengubahnya menjadi bidang yang biasa saya tekuni, yaitu fanfict ^^
Here they are...
Author : Jasumin blablabla
tittle : that supposed to be your name
genre : angst, sorrow, but I don’t know, maybe it would be ended In romance. I’ve had once killed naoran in my fanfic and i still feel guilty with that.
summary : “aku tahu... seharusnya kamu berada di halaman pertama buku ini”
Disclaimer : NAORAN selalu menjadi sasaran empuk penganiayaan saya!! Hhwakakakak~~ penulis saiko! What? No, no, of course no, i don’t have anything but the storynow playing : Shiki-Kagrra
tittle : that supposed to be your name
genre : angst, sorrow, but I don’t know, maybe it would be ended In romance. I’ve had once killed naoran in my fanfic and i still feel guilty with that.
summary : “aku tahu... seharusnya kamu berada di halaman pertama buku ini”
Disclaimer : NAORAN selalu menjadi sasaran empuk penganiayaan saya!! Hhwakakakak~~ penulis saiko! What? No, no, of course no, i don’t have anything but the storynow playing : Shiki-Kagrra
malam itu aku membiarkan lampu di kamarku mati. Tunggu, kurasa memang aku hampir selalu mematikan lampu utama yang menerangi rumahku. Sekelilingku remang-remang dapat membiarkanku merasakan kehadiranmu. Seperti kebiasaan ini kau biarkan meresap kepadaku perlahan-lahan. Aku membiarkan pikiranku melayang-layang melewati malam-malam, membiarkannya menyinggahi setiap memori yang terekam, atau pernah terlupakan. Seperti yang dulu kau ajarkan padaku, lagi. Untuk membiarkan dirimu menarik nafas setiap beberapa hari, membiarkan pikiranmu memutar memori semaunya, tanpa harus kau perintah. Sampai sekarang kau belum memberitahuku apa kegunaannya. Ah... maksudku, kau tidak membiarkanku apa kegunaanya.
Dalam keremangan ruangan aku menatapi jendela besar seukuran pintu ganda yang berada tepat di samping meja kerjaku, memiliki apartemen di tingkat tiga membuatmu bisa melihat lebih tinggi, memandangai aktifitas di jalan raya yang seolah takkan berhenti hingga kita tertidur. Jendela itu terbingkai di kiri-kanannya oleh korden berwarna... entahlah, itu adalah pilihan warnamu. Bertahun-tahun aku memiliki korden ini namun aku tidak mengetahui apa warnanya. Aku menghirup kopiku yang telah menjadi hangat. Kurasa warnanya campuran antara coklat pohon jati dan pastel... gorden itu cukup transparan, namun panjangnya melebihi ukuran jendela sehingga ujungnya menyapu lantai kayu. Aku menatap salah satu ujung korden tersebut, ditulis dengan spidol hitam, terdapat namaku dalam huruf kanji, cukuk besar hingga aku dapat melihatnya dari tempatku sekarang dengan keremangan lampu. Dengan kaca rayban jendela dan ruangan yang lebih gelap, cahaya di luar berpendar-pendar masuk melalui salah satu sisi jendela yang tidak terhalangi korden. Jalan raya memang terlihat cukup sepi, namun mobil-mobil tersebut terus berdatangan dari kedua sisi bingkai pemandanganku, tidak beberapa waktu hingga kendaraan sebelumnya menghilang. Bahkan di sudut kecil rumah kau masih menyisakan kehadiranmu. Aku menghela nafas. Ketika kau mengajarkanku untuk sekali-sekali mebebaskan pikiranku dan tidak melarangnya untuk berfikiran. Aku sering bercerita namun di tengah jalan aku berhenti karena kurasa ceritaku tidak cukup berbobot untuk dilanjutkan, “tidak apa... ceritakan saja” sahutmu lalu mendengarkan ceritaku. Namun inni adalah kebiasaanku, aku secara refleks mencoba mengalihkan pikiranku dari cerita awal dengan memandangi sebuah mobil yang baru saja melesat. Kurasa... lagi-lagi aku harus kembali pada apa yang kupikirkan. Maka aku menyerah mengalihkan perhatianku dan setelah 2 tahun membohongi dan melarikan diri, aku menguak kembali adegan itu, malam ini.
2 tahun sebelumnya
Sebuah kafe di pinggir hutan kota dengan nuansa cukup asri, sepasang pengantin baru duduk becengkrama disekitar kolam yang terdapat air terjum kecil.
“lantas, bagaimana kegiatan nge-band-mu itu? masih lancar?” seorang perempuan dengan umur berkisar pertengahan 20 tahun, membuka topik baru setelah sebelumnya dia tertawa kecil, memoriku tidak mengingat dengan jelas apa penyebab tawanya itu. yang jelas, senyum masih tersisa di bibirnya saat dia berkata.
“yah... lancar saja. Seperti yang kau lihat, belakangan memang sangat sibuk, tapi aku menyempatkan untuk libur sejenak, sudah cukup lama kan kita tidak berjalan-jalan?” kata laki-laki di hadapannya.
“ah... ya, sayang sekali aku tidak mungkin ikut bersama tur-mu” kata wanita itu lagi dengan senyum yang sama, namun terdapat perbedaan tatapan di matanya.
“sayang sekali aku tidak bisa bersamamu” balas laki-laki itu, aku, yang lantas seketika itu juga mengalihkan pandangannya ke taman di luar kafe tersebut, memandang entah kemana asalkan tidak ke mata istrinya yang berbinar kecewa, namun tersenyum, tidak jelas ekspresi apa itu?
“yah... mungkin aku tidak bisa ikut, tapi kumohon bawalah ini saat kau diluar kota atau dimana saja” perempuan itu membuka tas bahunya dan mencari ke dalam sebentar lalu mengeluarkan buku mirip kitab bersampul biru saphire tua.
“ini alkitab?” tanyaku
“ahaha, itu buku harian, buku catatan, entahlah... aku menemukannya di toko buku kemarin dan kurasa cukup unik jadi aku membelinya”
“untukku?”
“untuk penggantiku” kata perempuan itu mantap
“er... apakah aku harus mencatat sesuatu disini?” aku berkata bingung. Aku termasuk jenis yang lebih cenderung senang membaca daripada menulis. Aku membuka sampulnya yang tebal dan melihat lembaran kertas di dalamnnya kosong. Maksudku kosong adalah benar-benar kosong tanpa ada garis-garis untuk menulis.
“ya... bisa dibilang begitu” jawabnya singkat. Hampir selalu singkat jika aku bertanya, namun jika aku mengeluarkan pernyataan, jawabannya akan lebih panjang menanggapi pernyataanku tadi.
Kami terdiam, aku masih membalik-balikkan halamanya walaupun aku tahu halaman itu kosong semua. Bunyi air yang mengucur perlahan dari air terjun di sisi kami teringat jelas saat kami terdiam seperti itu.
“err... dan kau akan memeriksa tulisanku, begitu?”
“tidak, aku tidak akan memeriksanya atau mengintipnya, tapi kurasa aku akan tau kalau kau menulisnya”
Hening lagi.
“bagaimana aku akan tahu jika kamu mengintipnya?” kini aku semakin tersesat. Bagaimana?
“kurasa kau juga akan tahu kalau aku mengntip dan membaca isinya” dia tersenyum lagi.
Dua tahun telah berlalu semenjak percakapan itu.
aku masih teringat pada buku itu dan mengeluarkannya dari tumpukan kertas di laci kedua meja kerjaku. Buku itu masih sama setelah 2 tahun berlalu. Masih kosong. Aku kembali membalik-nalik halamannya dan memang tidak menemukan apapun di dalamnya. Tidak bahkan setitik tinta. Dulu aku berangan-angan untuk menulis sebuah puisi di dalamnya, sebuah puisi yang menceritakan tentang dirimu. Namun, aku membatalkannya karena pilihan kataku terlalu buruk untuk sebuah puisi. Ah, kurasa aku memang buruk dalam memilih kata. Tapi... kini aku merasa ingin berbicara denganmu, maka aku meraih telpon genggamku yang terletak di sandaran hp di sudut meja kerjaku, membuka kontak dan menekan tombol ‘calling’ pada nama Chiriyu.
aku masih teringat pada buku itu dan mengeluarkannya dari tumpukan kertas di laci kedua meja kerjaku. Buku itu masih sama setelah 2 tahun berlalu. Masih kosong. Aku kembali membalik-nalik halamannya dan memang tidak menemukan apapun di dalamnya. Tidak bahkan setitik tinta. Dulu aku berangan-angan untuk menulis sebuah puisi di dalamnya, sebuah puisi yang menceritakan tentang dirimu. Namun, aku membatalkannya karena pilihan kataku terlalu buruk untuk sebuah puisi. Ah, kurasa aku memang buruk dalam memilih kata. Tapi... kini aku merasa ingin berbicara denganmu, maka aku meraih telpon genggamku yang terletak di sandaran hp di sudut meja kerjaku, membuka kontak dan menekan tombol ‘calling’ pada nama Chiriyu.
“moshi-moshi” sambut suara di seberang telpon setelah nada sambung berakhir
“ah, ehm... moshi-moshi Chiriyu-chan” kataku berusaha meredakan detak yantung yang sedikit berdentum.
“ah! Naoran... ada apa?” katanya lagi
“kau sedang apa?” kataku mengeluarkan pertanyaan yang garing
“sedang menonton TV”
Aku terdiam. Lalu apa??
Hening beberapa saat.
“Naoran?” katanya lagi
“ya... ah, maaf” kataku terbata sambil mengerjapkan mataku.
“apa kau baik-baik saja?”
“ya, aku baik-baik saja. Aku...” kata-kataku terhenti.
Aku ingin memuntahkan semuanya. Aku ingin menjerit dan menceritakan bahwa setengah tahun setelah kita berhenti menjalin hubungan adalah setengah tahun yang menyiksa. Aku rindu! Aku ingin mendengar tawamu lagi. Malam-malam ketika aku kehilangan genggaman tanganmu, aku meremas tanganku. Aku berusaha menahan isakku, menopang kepalaku dengan tangan yang lain.
“ tidak Naoran... kau tidak baik-baik saja...” kata suaranya lirih
Kami terdiam lagi, tidak berusaha memecah keheningan.
“ano... buku itu, apa kau masih menyimpannya? Buku yang kuberikan sekitar dua tahun lalu?” akhirnya dia berbicara.
“ah... ya, aku masih menyimpannya” aku kembali merasa gugup. bagaimana jika dia tahu bahwa aku sebenarnya beum menulis apa-apa di buku itu? mungkin dia akan menganggap aku lelaki pengecut sekarang? Atau lebih buruk, dia menganggap aku tidak menghargai pemberiannya?
“maaf Chiriyu-chan... tapi, aku belum menulis apa-apa di buku yang kau berikan... aku hanya merasa tidak tahu ingin menulis apa. Sungguh...” kataku berusaha memberikan penjelasan
“tidak apa-apa” katanya ringan, entah mengapa terdengar sedikit lega.
“aku masih mengenalmu Naoran... yokatta, anata wa chigakunai deshou?” katanya lagi
“beginilah aku akan tahu kalau kau akan menulis Naoran... kau masih orang yang sama”
Oh, aku mengerti sekarang! aku paham bahwa yang dia maksud waktu itu dengan kalimat: kurasa aku akan tau kalau kau menulisnya. Maksudnya adalah karena dia yakin bahwa aku akan memberitahunya jika aku akan menulis di buku itu.
Aku tertawa lega, namun masih ada satu pertanyaan lagi yang mengganjal tentang buku ini.
“hey, Chiriyu... apa kau sibuk besok malam?” kataku kini lebih rileks, mengetahui bahwa dia tidak marah lagi denganku.
Kurasa aku seharusnya berhenti membohongi diriku dari dia dan bukunya... dan lenangan tentangnya berbulan-bulan yang lalu. mendengar bagaimana dia masih mengenalku bahkan setelah ketidakpedulianku, setelah pertengkaran itu, bahkan setelah 6 bulan berlalu, aku tahu kini apa maksud dari terapi... entahlah, apa ini terapi atau bukan, membiarkan pikiranku menghinggapi setiap memorinya, membebaskannya dan tidak melarangnya untuk memutar film kenangan-kenangan sesukanya. Untunglah malam ini aku tidak melarikan diri dari kenangan-kenangan tentangmu dan memikirkanmu...
“hm... coba kulihat.... kurasa besok malam aku tidak ada acara”
“bagus! Bisakah kita bertemu jam 7, tepat sebelum senja, di kafe dipinggir taman hutan kota?” kataku lagi, kini beranjak mendekati jendela, dan berjongkok mendekati namaku di pinggiran korden.
“ah... kafe The Green Sakura?” katanya sedikit antusias.
“ya! Ya!”
“oke, sampai bertemu besok senja” katanya lagi
“hey... Chiriyu-chan...”
“ya?” katanya hampir menutup telpon
“mada kimi ni Aishiteru” kataku perlahan, dan mukaku terasa panas. Entah kapan terakhir kalinya perasaanku bisa se-bahagia ini, hatiku bisa se-lega ini.
Dia terdiam sebentar.
“atashi mo”
Klik. Telepon terputus.
Aku tersenyum, dan meraih buku bersampul saphire tua tebal itu. di halaman pertama, aku tahu... seharusnya kau berada di halaman pertama buku ini. Maka aku menuliskan jejak keberadaanmu di pojok kanan bawah lembaran pertama, namamu.
Lalu dua halaman berikutnya kubiarkan kosong, di halaman ketiga, aku menuliskan beberapa rangkaian kalimat.