fanfiction: Aoi (untitled)


·         Entah mengapa aku pengen membuat FF tentang Aoi the Gazette. Tapi diriku hanya author baka yang mengandalkan poto untuk mencari Inspirasi T_T
Dan..................... Aku nggak punya potonya aoi sebagus potonya Kai buat dijadiin inspirasi.. uargh, aku memang jarang memperhatikan Aoi sih
 

kuharap fict ini ngga ngebosenin
~~(/ ^v^)/


·         FF ini terisnpirasi saat aku melihat translate lagu the Gazette yang ‘bathroom’. Lagu itu ternyata menceritakan tentang sesuatu yang nggak kusangka sebelumnya, begitu menurut translatenya ^^. Crappy language XXD
Dozou...



<i>Kau selalu mencemaskan perpisahan. “apa yang akan kulakukan ketika kita berpisah?”,  tanyamu Saat itu... aku hanya diam, mencoba menjawab pertanyaanmu. Namun bahkan yang kupikirkan bukanlah ‘apa yang akan kita lakukan’ tapi... apa memang aku akan merasakan sesuatu?
Ketika perasaan itu semakin luntur, yang tersisa di balik semuanya hanya kanvas putih. Aku ingin terus menjagamu, dengan atau tanpa perasaan tersebut. Karena perasaan tersebut, tanpa kau ketahui begitu kuat terhadapmu</i>
★★★
aku merogoh-rogoh tasku sebentar demi mencari kunci apartemenku. Setelah akhirnya kutemukan tertumpuk di bawah saputangan aku mengambilnya beserta saputangan tersebut lalu membuka pintu dengan tangan yang satu, sementara tangan yang lain memeluk belanjaan. Di luar hujan, bahkan setelah aku memasuki bangunan apartemenku, suaranya masih terdengar. Deras, hujan yang turun sangat deras di tengah musim gugur ini membuat mantel yang kukenakan jadi terasa lembab. Aku menggunakan saputangan tadi untuk menepuk-nepuk kepalaku yang terkena air hujan, di Osaka maupun di New York aku tidak tahan pada air hujan, pasti langsung pusing. Bahkan ujung-ujung rok yang kukenakan menjadi basah karena cipratan hujan saat turun dari taksi dan saat keluar dari bangunan kantorku.
“aku pulang” kataku, sambil membuka mantelku karena takut masuk angin.
“ah... selamat datang! akhirnya pulang juga! Kehujanan ya?” katamu berlari menyambutku
“hahaha... lama ya menunggu? Gomen ne~ aku tidak bisa berjalan lebih cepat karena hujan. Tadi juga aku tidak berteduh” kataku sambil sekilas mengecup pipinya yang putih dan lembut.
“iie, daijobu” katamu sambil tertunduk malu, aku mengusek kepalanya, dan bahkan ketika aku melepaskannya, aku membiarkan jari-jariku menyisir rambut hitammu.
Kegiatan berikutnya nyaris selalu sama semenjak kita tinggal bersama 4 tahun yang lalu. aku membuat makan malam kita, lalu kita akan tenggelam pada kegiatan masing-masing hingga akhirya jam sepuluh kurang aku menyusulmu ke kamar, kalau pekerjaanku tidak ngaret. Atau jika tidak ada acara yang ingin kutonton. Saat itu kau sudah tertidur, dan aku selalu tidak sempat untuk bercerita lebih banyak tentang hari-harimu, atau rencana liburan kita.
“ne, bagaimana hari ini?” kataku
“mm... menyenangkan”. Aku tahu akhir-akhir ini tidak begitu menyenangkan, karena kau masih sedikit mengalami kendala dalam berbahasa Inggris. Yah, mau apa lagi, semenjak aku membawamu pergi dari Jepang 4 tahun yang lalu mungkin memang masih ada tersisa kerinduan untuk berbicara dengan leluasa dengan bahasa Jepang.
“mizu!”
Dua orang gadis sedang menunggu kereta malam itu, dan salah satunya memanggil yang lain. Kereta dengan jadwal yang cukup larut dan stasiun sudah cukup sepi, namun mereka menyebutnya tenang karena tidak perlu berdesakan dengan banyak orang. Setelah tindak pelecehan yang sering terjadi dalam kereta yang penuh, mereka memilih untuk menggunakan kereta dengan jadwal malam, selain juga karena jadwal klub mereka yang mengharuskan mereka untuk tinggal di sekolah agak lebih lama.
“apa?” sahut gadis yang bernama Mizu, menoleh pada temannya. Tidak lama kereta datang dan rambutnya sedikit terhempas karena kencangnya angin dari kereta itu.
“ne... cowok yang disebelah sana” kata Inochi –gadis yang lain– sambil melirik cowok yang berdiri sejajar dengan mereka. Cowok itu tampak datar dengan arah pandangan kedepan, menunggu di belakang garis kuning untuk pintu kereta terbuka. Rambutnya tampak hitam panjang membuat kesan seperti seorang anak berandal. Mizu menoleh ke arah cowok tersebut akibat perkataan Inochi, “dia daritadi memperhatikanmu lho...” sambung Inochi, sambil terkikik.
Obrolan mereka terhenti saat mereka melangkah masuk ke kereta. Mizu dan Inochi sengaja memilih ke bagian yang agak belakang dan melanjutkan cerita yang tadi, sementara cowok yang menjadi objek pembicaraannya berada di ujung lain.
“biarkan saja...” kata Mizu, mencoba mengacuhkan omongan Inochi tadi. walaupun begitu, Mizu tetap saja jadi memperhatikan cowok yang ditunjuk Inochi tadi. Bahkan setelah diperhatikan lagi ternyata dia menggunakan tindik di bibirnya, kesan anak berandalnya masih juga tidak hilang.
“ne, cowok itu... satu sekolah dengan kita, anak kelas 1-3. Kamu tidak tahu?” kata Inochi seakan tahu bahwa temannya masih penasaran. Terang saja, Inochi sudah berteman dengan Mizu semenjak kelas 2 SD berarti sudah 8 tahun mereka bersama, dia bisa <i>mendengar</i> perkataan Mizu melalui pancaran matanya.
“iih... apa sih? Biarkan saja” kata Mizu sedikit malu karena seakan temannya tahu bahwa dia masih memikirkan cowok.
“ufufufu...” akhirnya Inochi diam dan akhirnya menyerah menggoda temannya.
Akhirnya kereta yang mereka tumpangi sampai di stasiun, dan Inochi serta Mizu turun. Saat terakhir pun, Mizu masih penasaran dengan cowok yang ditunjuk Inochi tadi. Dia sedikit celingukan mencarinya
“ada apa Mizu?”
“ah... uhm, tidak apa-apa” katanya berpura-pura. Dalam hati sebenarnya Mizu juga mempertanyakan kebenaran omongan Inochi tadi, entah bagaimana kalimat itu mengusiknya bahkan saat dia berkata <i>’biarkan saja’</i> dalam hatinya dia sendiri tidak yakin.
Berikutnya, entah karena omongan inochi sebelumnya atau memang kebetulan –tapi rasanya tidak mungkin kebetulan– Mizu selalu merasakan kehadiran cowok itu jika dia berada di sekitarnya.
Begitu saja, tidak ada yang dramatis dari cara Mizu mengetahui cowok itu. mereka pergi dengan kereta yang jadwalnya sama, sehingga itu menjadi sebuah kebiasaan baru bagi Mizu untuk terus memperhatikannya, sambil bertanya-tanya kapan dia akan mengetahui nama cowok itu. setidaknya... menurut Mizu perasaannya hanya sebuah penasaran
“nanti kamu jatuh cinta lho dengannya” oceh Inochi suatu hari, saat dia melihat temannya memandangi cowok tanpa nama itu lagi
“heh? Muri yo! Tidak mungkin ah!” kata Mizu sambil mengibaskan tangganya, pipinya bersemu karena ini sudah entah keberapa kalinya Inochi menangkapnya memandangi cowok itu. atau memandangi tempat terakhir sebelum cowok itu pergi.
“heh? Benar? Padahal Aoi cukup populer lho...” sambutnya
“cowok itu? yang pakai piercing itu?” kata Mizu setengah tidak percaya.
“kamu bukan orang pertama yang terus-terusan memperhatikan Aoi” kata Inochi lagi. “orang itu... punya aura! Hahaha!” kalimat inochi berakhir dengan tawa.
Aoi. Namanya Aoi. Bukankah itu artinya ‘biru’?
“jadi namanya Aoi?” kata Mizu setelah lama mereka diam
“hahaha.... tuh kan, kamu penasaran!” kata Inochi. “iya, namanya Shiroyama Yuu, tapi teman-teman memanggilnya Aoi” jelas Inochi
Mereka berdiam lagi.
“ne! Kau... benar tidak tertarik dengan Aoi?” tanya Inochi tiba-tiba dan membuat Mizu kaget dengan pertanyaan itu. walaupun telah berteman cukup lama, mereka jarang mengobrolkan tentang cowok, sehingga Mizu cukup kagok ketika Inochi menanyakannya.
“ah... ehm. Entahlah, kurasa aku hanya penasaran karena aku sering melihatnya” kata Mizu menerangkan perasaannya “kenapa? Kau menyukainya? Dekati saja...” sambung Mizu Reflek. Saat itu Mizu bahkan tidak memikirkan omongannya saat mengucapkannya, dimana karena kalimat inilah beberapa tahun berikutnya dia paham makna ‘menyesal’ sesungguhnya
“ah, aku-“ kata Inochi terpotong karena salah seorang temannya memanggil,
“Inochi, kau dicari senior klub basket”
“haah~? Kenapa?” katanya tampak frustasi “tunggu sebentar Mizu, aku akan segera kembali”
Dan Inochi menghilang tanpa sempat menjawab pertanyaan Mizu tersebut.
Cowok itu –aoi- merupakan Anggota tim baseball sekolah, dari informasi yang dikumpulkan Mizu. Aoi ditulis dengan kanji yang berarti jenis bunga yang terdapat di jenis pohon hiasan. Mizu jadi punya kebiasaan memperhatikan Aoi di sekolah maupun di kereta. Mungkin Inochi benar.
Mungkin... Mizu telah jatuh cinta pada Aoi.
Tahun demi tahun terus berlalu, tanpa Mizu sekalipun menyapa Aoi. Dan hal ini membuatnya kesal, meruntuki dirinya begitu pengecut karena bahkan bagaimanapun setiap inci tubuhnya merasakan kehadiran Aoi, tetap saja bagi Aoi dia Mizu tidak terlihat. Bagaimana pun dengan sudut matanya dia Memperhatikan Aoi, tetap saja Aoi tidak menyadari kehadirannya. Setidaknya begitu teori Mizu. Tapi bukankah pertamakali Mizu menyadari keberadaan Aoi, Inochi berkata bahwa Aoi sedang memperhatikan Mizu?  Terkadang Mizu selalu membayangkan bagaimana mereka akan bertegur sapa. Dalam berbagai versi di khayalannya.
Sore itu Mizu pulang dari latihan klub basketnya dan berjalan sendirian di rute biasa yang dia lewati sebelum menuju stasiun. Pemandangannya oranye dan bibi yang menjual manisan menegurnya dan  bocah-bocah tk berlarian dengan kincir angin mereka. Itu adalah sore yang cerah dan Mizu sedang dalam penampilan terbaiknya.
Dia memasuki kereta seperti biasa dan saat akhirnya dia hampir sampai di stasiun tujuannya...
“ah, ano....” seseorang mengetuk pundaknya pelan dan Mizu menoleh. Dia mendapati Aoi berdiri menjulang dan mengangsurkan dompet tipis miliknya. “ini milikmu kan? Kurasa terjatuh saat orang tadi lewat” kata Aoi lembut, dia memiliki suara yang cukup dalam dan berat.
“ah... namaku Shiroyama Yuu” katanya lagi. “namamu?”
Dan begitulah salah satu versi khayalan Mizu, pipinya memerah sendiri saat membayangkan khayalan itu.
“hei, kamu kenapa? Demam?” tanya Inochi melihat Mizu menyapu kelas sambil tersenyum. Mizu hanya menggeleng, tidak mungkinkan dia memberitahu Inochi bahwa dia membayangkan Aoi. Mereka telah beranjak ke tahun terakhir di sekolah mereka, tidak terasa waktu hanyut begitu saja. dan Mizu masih mengubur perasaannya pada Aoi.
Bagaimana mungkin? Tanpa sekali pun Aoi menoleh kepada Mizu, padahal sehari mereka bertemu lebih dari 2x. Mungkin memang tidak nasib mereka untuk bertemu. Atau memang Mizu sangat pengecut.
“Mizu akan pergi ke Tokyo ya setelah lulus?” kata Inochi.
“hmm... kelihatannya begitu. Pendidikan di tokyo lebih bagus kan?” kata Mizu menyambut pertanyaan temannya. Ada sebersit perasaan kecewa di nadanya dan... ah, keliru kah Mizu? Ada nada tidak senang juga.
“ne... kau benar tidak bisa pergi ke Tokyo juga ya?” tanya Mizu ke Inochi begitu inochi mengalihkan pandangannya ke luar kelas. Dia memaklumi bahwa temannya mungkin jengkel karena tidak bisa pergi bersamanya.
“tidak, aku tidak bisa pergi ke Tokyo. Menurutku tokyo terlalu keras dan... pokoknya tidak bisa deh” kata Inochi lagi. Tiba-tiba dia memeluk Mizu “aku tidak ingin pergi ke Tokyo!” sambungnya
“ne, pergilah ke Tokyo jika memang kau merasa mimpimu disana, lakukan dengan sepenuh hati apapun yang kau kerjakan” dia melepaskan Mizu dan memandang sahabatnya itu dengan perasaan sayang “pergilah, jaga dirimu dan... dapatkan kembali sesuatu yang berharga untukmu”
Kau tampak begitu tekun menghadapi bukumu, terbata-bata mengucap dalam bahasa Inggris dengan aksen jepang sangat kental, yang sangat lucu menurutku.
Kamu selalu bisa menjadi penghiburku, entah bagaimana cukup dengan melihatmu di sampingku membuat aku tersenyum. Mungkin semacam penghibur diri sendiri, bahwa kau tidak sepenuhnya meninggalkanku.
Ya kan, Aoi?
Mengingat tentang mirisnya kita seperti sedang menyanyikan lagu sedih yang sangat emosional, kau tau? Lalu tiba-tiba, -pets! Lagunya berhenti. Petikan gitar meredup, gesekan biola semakin buram, bahkan denting piano semakin mengabur. Lagu menghilang bahkan sebelum memasuki bagian Chorus. Aku tidak pernah tahu apa yang pernah ada dan yang tidak pernah ada diantara kita.
Matamu yang hitam dan tajam, dan rambutmu. Aku bisa melihatnya sampai hari ini, sampai detik ini. serpihan-serpihan yang selalu membangkitkan kenangan-kenangan kita. Maksudku... <i>kenanganku tentangmu</i>. Bagaimana tidak? Perasaan ini meluap bahkan hingga saat-saat terakhir. Aku menatapi mata yang tajam itu tertunduk mengahadapi bukunya, masih. Dan sebagaimana aku masih terpukau setelah semuanya terjadi, aku masih terus memandangi mata itu. itu matamu Aoi...
Terkadang aku tidak bisa percaya pada siapapun, tapi kurasa itu hanya karena aku tidak ingin percaya. Bahkan pada waktu, aku tidak percaya bahwa waktu dapat menjawab semuanya. Terkadang... waktu membuai dan memberikan mimpi, membawa kita mengalir bersamanya. Dan begitu tersadar waktu sudah berlalu dan tidak ada yang berubah.
Tidak ada yang berubah. Aku masih terpisah dengan orang yang kusayangi. Orang-orang yang kusayangi.
“mizu-chan?”
Aku terkejut dari lamunanku. Benar saja, aku sudah dibawa waktu menonton kenangan-kenangan kita. Kamu pasti merasa heran karena tanpa sadar daritadi aku menatap ke arahmu. Aku tersentak dan mendapati kenyataan yang akhirnya terhampar di depanku. Mata itu memang matamu, tapi bukan kamu Aoi. Mata itu kini berada pada anakmu. Tahukah kau rasanya sakit seperti ini? Itu seperti luka yang takkan pernah kering. Tetap perih karena serbuk-serbuknya penyesalan tetap bertebaran di atasnya.
Bukankah lebih baik jika semua segera berlalu?
“mizu-chan apaan? Okaasan(ibu) dayo!!” kataku gemas dan menghambur rambutmu. Sesuatu yang tidak sempat kulakukan lebih banyak saat bersama<i>mu<i>.
Akio, seperti yang sudak kuceritakan sebelumnya, telah tinggal bersamaku di saat di Jepang setahun dan New York selama 3 tahun belakangan. Dan mungkin karena pengaaruh masa lalu-nya atau karena dia tinggal bersama orang asing, bahasa inggrisnya belum juga lancar.
Dia adalah anak Aoi dan Inochi.
“huuh! Haruskah Akio memanggilmu Okaasan?” katanya sambil menggembungkan pipinya. Pensil di tanganya digenggam, kurasa siap dilemparkan kepadaku.
“hahaha” kataku tertawa. Dan benar saja, sedetik kemudian pensil itu terbang ke arahku. “oi! Jangan!” kataku menepuk pipinya, menghilangkan gembung di pipinya.
“Akio kan sudah berteman lama dengan Mizu-chan. Rasanya tidak enak memanggilmu Okaasan” katanya sambil memungut pensilnya. “lagipula, kau kan bukan ibuku”
Kata-kata seorang bocah memang terlalu jujur, dia berbicara tanpa penyaring dan terkadang menyakitkan. Aku menyerah, lagipula moodku sudah rusak dengan kalimat terakhirnya. Dan kenapa aku harus memaksakannya untuk memanggilku ibunya? Anak ini mungkin memang mempunyai hati seperti ibunya. Keras, egois, dan... oh, apakah mungkin aku yang egois?
“baik, baik. Panggil saja terus Mizu-chan” kataku kembali acuh pada pekerjaan di laptopku. Tanpa sadar nada bicaraku menjadi ketus.
“mm... Mizu-chan?” panggil Akio lagi setelah lama kami berdiam. Aku menoleh menatapnya dan dia memandangiku dengan matamu.
“uh, Akio minta maaf, i’m so sorry Mizu-chan” katanya tertunduk
“iie, daijobu” kataku singkat.
“uhm... aku akan tidur duluan” katanya sambil memasukkan peralatan sekolahnya. Aku mengangguk sekilas.
Aku seharusnya tidak meluapkannya pada Akio. Aku seharusnya tidak berusaha bermain dengan khayalanku. Mencoba membuat keluarga imajiner dengan Akio dan Aoi. Aku seharusnya tidak melibatkan akio dengan khayalanku. Aku harus berhenti menganggap Akio adalah serpihan Aoi yang ditinggalkan sebagai entah hadiah atau apa.
Kenop pintu yang terbuat dari besi terasa dingin begitu menyentuh kulitku. Aku memutarnya dan mendapatimu tertidur di bawah selimut. Mata itu sekarang tertidur.
Aku tidak pernah merasakan bagaimana persisnya merasakan hidup, sampai kalian memberiku Akio. Malam itu senja baru saja lolos, dan.. gerimis. Ya, bagaimana aku lupa dengan gerimisnya? Aku sedang dalam penampilan terbaikku. Dan... pintu apartemenku diketuk. Aku pikir itu kiriman barang atau salesman yang menawarkan produk bulanan, karena aku sangat jarang punya tamu di Tokyo. Semenjak berpisah dari Inochi, kurasa... aku jadi lupa bagaimana caranya berteman. Membangun hubungan mulai dari nol.
Dan, begitu saja. kau muncul di hadapanku dengan payung di tangan yang satu dan... apakah aku salah? Seorang bayi?
Jaket kulitmu berkilap karena hujan, dan kau merengkuh dengan erat bayimu berusaha memberikannya kehangatan. Benar-benar jauh melenceng dari perkiraanku. Ataupun khayalanku.
“permisi. Apakah anda benar Mizu Oriyuura?” katamu malam itu, dengan nafas yang hampir menjadi uap aku terpaku di depan pintuku mendapati seseorang yang sekian tahun -6 tahun jika kuhitung- samar-samar dalam ingatanku tentang kenangannya, dan tiba-tiba kau di depan pintu rumahku, dengan seorang bayi.
Demi tuhan benar-benar datang tiba-tiba seperti hujan!
“aku Shiroyama Yuu” katamu.
<i>apakah ini khayalan atau kenyataan?</i>
“ah... eh, maaf kau pasti telah melupakanku, aku... aku pernah mengenalmu di SMA dulu, kau tahu?” katanya lagi dan aku masih tercengang.
“er... kau pasti tidak mengenalku ya, karena memang aku tidak pernah menegurmu sebelumnya. Hahaha” kata Aoi tertawa canggung malam itu.
“ah, tunggu, biar kita lanjutkan di dalam saja” kataku membukakan pintuku lebih lebar dan kau bersama bayimu masuk. Aku segera mengambil selimut dan membuatkan kopi hangat untukmu.
“ah... ano mungkin ini mendadak, tapi aku entah mengapa selalu tahu bahwa kau memperhatikanku di SMA dulu” katamu dengan bayi itu tertidur di pangkuanmu. Aku mengalihkan pandanganku ke arah bayi itu agar kau tidak perlu melihat tampangku tersipu.
“ahaha, kau pasti merasa aneh harus berbicara dengan orang asing ya?” katanya sambil tertawa
“ah... tidak juga”
Setelah itu hening. Aku menyeruput kopiku dan masih memandangi bayi yang tertidur nyenyak di pelukanmu. Sebentar-sebentar bayi itu menggeliat, begitu mungil, begitu murni.
“hei, bisakah kau menjaga bayiku untuk sementara?” katanya terbata lagi “aku sedang sangat sibuk belakangan dan hanya kamu yang kukenal di Tokyo”
Aku membisu, lalu dengan gugup bertanya “dan... dimana ibu anak ini? Apa dia anakmu?”
“ah... ibunya Sakit dan masih belum bangun setelah melahirkannya, namanya Akio. Dia... dia anakku” katamu. “istriku berkata dia punya sahabat baik dahulu kala... dan, Tuhan aku tidak ingin ini terjadi, tapi dia berpesan jika sesuatu terjadi dengannya, aku bisa mempercayakan temannya itu...” kata-kata Aoi menggantung.
“ibunya... sahabat baikku?” kataku tidak percaya, satu-satunya sahabat yang aku punya dulu saat SMA dan kurasa cukup dekat hanya Inochi Motokawa “siapa...??” kataku bertanya lebih kepada diriku sendiri.
“Inochi... Inochi Motokawa, kau lupa?”
Dan saat aku mendengar Aoi telah mempunyai keluarga, aku kaget. Terlebih karena Istrinya adalah sahabatku dulu. Kenapa? Jika Inochi benar-benar tahu perasaanku, kenapa dia menikah dengan Pria yang kucintai selama hampir sepanjang masa SMA-ku? Dia tahu kan? Dia bisa membaca perasaanku kan? Dia sahabatku kan?
 Perasaan yang dulu selalu kupendam dan kucoba menghilangkannya kembali muncul dan bahkan semakin besar. Sempat terbersit dalam pikiranku untuk berharap supaya Istri Aoi tidak usah bangun saja!
<i>aku benar-benar kejam, ya?</i>
Namun disisi lain, aku juga meruntuki diriku sendiri yang tidak sempat menyampaikan perasaanku pada Aoi. Tiba-tiba saja bayi yang sebelumnya kulihat begitu mungil berubah jadi bayi yang membuatku merasa marah, membuatku merasa bayi itu adalah bagian lain dari inochi, sehingga tanpa sadar aku mengarahkan pandangan tajamku ke bayi itu.
“ah... begitu? Pasti berat ya buat Aoi untuk menjaga seorang Bayi ditengah kesibukan” kataku lagi. “mm... baiklah aku akan menjaganya”
“benarkah?” Aoi terlihat senang, senyumnya mengembang dan tanpa sadar mukaku menjadi hangat. Aku rasa aku memang ingin membuatnya bahagia. Sekejap saja, semua rasa benci yang sedetik lalu tertimbun di hatiku menguap, begitu aku tahu bahwa orang yang kubenci –sahabatku– dan bayi ini adalah orang-orang yang dapat membuat orang yang kucintai bahagia.
Aku membelai rambutnya yang tertidur di remang-remang. Bagaimanapun, aku menyayangi anak ini.
Perasaan sekelebat ingin menyingkirkan ibunya pun telah hilang. <i>menyingkirkan. aku terdengar keajm sekali ya?</i> Perasaan itu akhirnya hilang karena akhirnya Ibunya meninggal setelah 2 bulan koma karena kondisi tubuhnya setelah melahirkan Akio semakin memburuk.
Ibunya adalah sahabatku kan? Aku tidak seharusnya berpikiran seperti itu. tap,i Inochi, perasaan ini selalu ada. Aku tahu bukan salahmu karena Miai(perjodohan) yang terjadi, tapi setidaknya, apakah tidak ada rasa bersalah dalam dirimu karena menikahi pria yang kucintai?
Entah bagaimana nasib melemparkan dadunya, membuat pion-pion bergerak hanya berdasarkan keinginannya, entahlah. Aku tidak mendengar kabar dari Inochi semenjak kami lulus dan aku berpisah. Beberapa kali aku mengiriminya surat maupun e-mail yang tidak pernah dibalas. Semuanya terjadi tanpa aku mengetahui awalnya. Inochi dijodohkan dengan Aoi dan mereka menikah.
Dan saat aku menanyakan apakah dia akan mendekati Aoi saat itu, aku juga tidak tahu apakah Inochi benar-benar menyukai Aoi bahkan diluar Miai.
Aku mendengar sekilas dari Aoi bahwa sewaktu SMA dia berpisah dengan pacarnya karena gadis itu tidak bisa ikut dengannya ke Tokyo. Namun dia bertemu dengan gadis itu tahun lalu saat tanabata dan kembali jatuh cinta dengannya. Jadi... gadis yang dimaksud Inochi dan Inochi masih menunggu Aoi?
Dan lahirlah Akio, lalu Inochi dikabarkan meninggal setelah malam gerimis itu. hingga malam itu, aku tidak mengetahui apa-apa tiba-tiba diceritakan sebuah cerita panjang. Mungkin memang lebih baik jika aku tidak mengetahui awalnya.
Aku menegcup rambut Akio sekilas dan pergi keluar dari kamar tidur dan ke ruang tengah. New York sedang diguyur hujan. Aku menghidupkan televisi dan mulai memencet-mencet saluran, ketika aku mulai berada di daerah saluran tv berbahasa jepang aku menemukan siaran mengenai laporan konser. Sebentar kamera menyorot audiens yang ramai. Rata-rata pengunjungnya adalah remaja perempuan yang sedang mengibas-ngibaskan rambut mereka yang panjang dan lurus. Budokan sedang diguncang konser dari Final Tour Band itu.
Mataku sejenak mengarah ke sisi kiri panggung dan melihat gitaris dengan rambut hitam.
Aoi.
“mizu-chan?” tiba-tiba akio sudah keluar kamar dan dia turun dari ranjang dengan kaki telanjang di tengah cuaca yang sangat dingin ini.
“Akio... mana kaus kakimu?” kataku kaget
Dia naik ke sofa dan bergelung di sampingku. “tidak tidur?” dia menggeleng
“aku kedinginan” katanya, dan aku melingkarkan tanganku ke sekitar pundaknya.
Setelah itu kami kembali menonton konser tersebut. Walaupun lagu yang sedang dibawakan adalah lagu dengan nada riang, ruangan hening digantungi rasa tidak nyaman.
Mungkin rindu, mungkin benci, mungkin juga sedih.
“okaachan” panggil Akio, dan aku tersentak “aku sayang padamu”
“ne... Akio ingin menjadi seperti ayah suatu hari?” kataku sambil memperhatikan Aoi yang memainkan gitar dengan semangat. Sesekali ia ikut melakukan headbang dengan teman-teman satu bandnya.
Akio berfikir agak lama, “tidak. Aku tidak ingin kembali ke jepang” katanya dengan keluguan anak berumur 7 tahun.
Setelah itu aku tahu bahwa Akio pasti memiliki ketegaran milik Inochi.

Aoi tidak gaje, tapi Aku dan FF ini sangat gaje~~
(T_T) >>> (@_@) >>> (o,O)’a >>> (
oo) >>> (⁰△⁰) >>> b(=_=)d >>> (>,<)oo >>> v(^_^)v
***translate from expressions to word***
(aku tau FF ini gaje) >>> (tanggapannya ...) >>> (heh? Aneh yak?!) >>> (kan tadi aku dah bilang ini gaje) >>> (ah.. em... engg... gajadi deng) >>> (syukurlah dibaca ampe abis) >>> (aihh!!! Aku jadi malu~!) >>> (comments and critics are always appreciated)

Postingan populer dari blog ini

Hitomi no Jyuunin- L’Arc~en~Ciel (indonesian translate)

Sangatsu Kokonoka- REMIOROMEN (Indonesian translate)

ENDLESS RAIN- X JAPAN(Indonesian translate)