fanfiction: Aoi (untitled)
·
Entah
mengapa aku pengen membuat FF tentang Aoi the Gazette. Tapi diriku hanya author
baka yang mengandalkan poto untuk mencari Inspirasi T_T
Dan.....................
Aku nggak punya potonya aoi sebagus potonya Kai buat dijadiin inspirasi..
uargh, aku memang jarang memperhatikan Aoi sih
kuharap fict ini ngga ngebosenin
~~(/ ^v^)/
·
FF
ini terisnpirasi saat aku melihat translate lagu the Gazette yang ‘bathroom’.
Lagu itu ternyata menceritakan tentang sesuatu yang nggak kusangka sebelumnya,
begitu menurut translatenya ^^. Crappy language XXD
Dozou...
<i>Kau selalu
mencemaskan perpisahan. “apa yang akan kulakukan ketika kita berpisah?”, tanyamu Saat itu... aku hanya diam, mencoba
menjawab pertanyaanmu. Namun bahkan yang kupikirkan bukanlah ‘apa yang akan
kita lakukan’ tapi... apa memang aku akan merasakan sesuatu?
Ketika perasaan itu semakin
luntur, yang tersisa di balik semuanya hanya kanvas putih. Aku ingin terus
menjagamu, dengan atau tanpa perasaan tersebut. Karena perasaan tersebut, tanpa
kau ketahui begitu kuat terhadapmu</i>
★★★
aku merogoh-rogoh tasku sebentar demi mencari
kunci apartemenku. Setelah akhirnya kutemukan tertumpuk di bawah saputangan aku
mengambilnya beserta saputangan tersebut lalu membuka pintu dengan tangan yang
satu, sementara tangan yang lain memeluk belanjaan. Di luar hujan, bahkan
setelah aku memasuki bangunan apartemenku, suaranya masih terdengar. Deras,
hujan yang turun sangat deras di tengah musim gugur ini membuat mantel yang
kukenakan jadi terasa lembab. Aku menggunakan saputangan tadi untuk
menepuk-nepuk kepalaku yang terkena air hujan, di Osaka maupun di New York aku
tidak tahan pada air hujan, pasti langsung pusing. Bahkan ujung-ujung rok yang
kukenakan menjadi basah karena cipratan hujan saat turun dari taksi dan saat
keluar dari bangunan kantorku.
“aku pulang” kataku, sambil membuka mantelku
karena takut masuk angin.
“ah... selamat datang! akhirnya pulang juga!
Kehujanan ya?” katamu berlari menyambutku
“hahaha... lama ya menunggu? Gomen ne~ aku tidak
bisa berjalan lebih cepat karena hujan. Tadi juga aku tidak berteduh” kataku
sambil sekilas mengecup pipinya yang putih dan lembut.
“iie, daijobu” katamu sambil tertunduk malu, aku
mengusek kepalanya, dan bahkan ketika aku melepaskannya, aku membiarkan
jari-jariku menyisir rambut hitammu.
Kegiatan berikutnya nyaris selalu sama semenjak
kita tinggal bersama 4 tahun yang lalu. aku membuat makan malam kita, lalu kita
akan tenggelam pada kegiatan masing-masing hingga akhirya jam sepuluh kurang
aku menyusulmu ke kamar, kalau pekerjaanku tidak ngaret. Atau jika tidak ada
acara yang ingin kutonton. Saat itu kau sudah tertidur, dan aku selalu tidak sempat
untuk bercerita lebih banyak tentang hari-harimu, atau rencana liburan kita.
“ne, bagaimana hari ini?” kataku
“mm... menyenangkan”. Aku tahu akhir-akhir ini
tidak begitu menyenangkan, karena kau masih sedikit mengalami kendala dalam
berbahasa Inggris. Yah, mau apa lagi, semenjak aku membawamu pergi dari Jepang
4 tahun yang lalu mungkin memang masih ada tersisa kerinduan untuk berbicara
dengan leluasa dengan bahasa Jepang.
★
“mizu!”
Dua orang gadis sedang menunggu kereta malam itu, dan
salah satunya memanggil yang lain. Kereta dengan jadwal yang cukup larut dan
stasiun sudah cukup sepi, namun mereka menyebutnya tenang karena tidak perlu berdesakan dengan banyak orang. Setelah
tindak pelecehan yang sering terjadi dalam kereta yang penuh, mereka memilih
untuk menggunakan kereta dengan jadwal malam, selain juga karena jadwal klub
mereka yang mengharuskan mereka untuk tinggal di sekolah agak lebih lama.
“apa?” sahut gadis yang bernama Mizu, menoleh pada
temannya. Tidak lama kereta datang dan rambutnya sedikit terhempas karena
kencangnya angin dari kereta itu.
“ne... cowok yang disebelah sana” kata Inochi
–gadis yang lain– sambil melirik cowok yang berdiri sejajar dengan mereka.
Cowok itu tampak datar dengan arah pandangan kedepan, menunggu di belakang
garis kuning untuk pintu kereta terbuka. Rambutnya tampak hitam panjang membuat
kesan seperti seorang anak berandal. Mizu menoleh ke arah cowok tersebut akibat
perkataan Inochi, “dia daritadi memperhatikanmu lho...” sambung Inochi, sambil
terkikik.
Obrolan mereka terhenti saat mereka melangkah
masuk ke kereta. Mizu dan Inochi sengaja memilih ke bagian yang agak belakang
dan melanjutkan cerita yang tadi, sementara cowok yang menjadi objek
pembicaraannya berada di ujung lain.
“biarkan saja...” kata Mizu, mencoba mengacuhkan
omongan Inochi tadi. walaupun begitu, Mizu tetap saja jadi memperhatikan cowok
yang ditunjuk Inochi tadi. Bahkan setelah diperhatikan lagi ternyata dia menggunakan
tindik di bibirnya, kesan anak berandalnya masih juga tidak hilang.
“ne, cowok itu... satu sekolah dengan kita, anak
kelas 1-3. Kamu tidak tahu?” kata Inochi seakan tahu bahwa temannya masih
penasaran. Terang saja, Inochi sudah berteman dengan Mizu semenjak kelas 2 SD
berarti sudah 8 tahun mereka bersama, dia bisa <i>mendengar</i> perkataan Mizu melalui pancaran matanya.
“iih... apa sih? Biarkan saja” kata Mizu sedikit
malu karena seakan temannya tahu bahwa dia masih memikirkan cowok.
“ufufufu...” akhirnya Inochi diam dan akhirnya
menyerah menggoda temannya.
Akhirnya kereta yang mereka tumpangi sampai di
stasiun, dan Inochi serta Mizu turun. Saat terakhir pun, Mizu masih penasaran
dengan cowok yang ditunjuk Inochi tadi. Dia sedikit celingukan mencarinya
“ada apa Mizu?”
“ah... uhm, tidak apa-apa” katanya berpura-pura. Dalam
hati sebenarnya Mizu juga mempertanyakan kebenaran omongan Inochi tadi, entah
bagaimana kalimat itu mengusiknya bahkan saat dia berkata <i>’biarkan saja’</i>
dalam hatinya dia sendiri tidak yakin.
Berikutnya, entah karena omongan inochi sebelumnya
atau memang kebetulan –tapi rasanya tidak mungkin kebetulan– Mizu selalu
merasakan kehadiran cowok itu jika dia berada di sekitarnya.
Begitu saja, tidak ada yang dramatis dari cara
Mizu mengetahui cowok itu. mereka pergi dengan kereta yang jadwalnya sama,
sehingga itu menjadi sebuah kebiasaan baru bagi Mizu untuk terus
memperhatikannya, sambil bertanya-tanya kapan dia akan mengetahui nama cowok
itu. setidaknya... menurut Mizu perasaannya hanya sebuah penasaran
“nanti kamu jatuh cinta lho dengannya” oceh Inochi
suatu hari, saat dia melihat temannya memandangi cowok tanpa nama itu lagi
“heh? Muri yo! Tidak mungkin ah!” kata Mizu sambil
mengibaskan tangganya, pipinya bersemu karena ini sudah entah keberapa kalinya
Inochi menangkapnya memandangi cowok itu. atau memandangi tempat terakhir
sebelum cowok itu pergi.
“heh? Benar? Padahal Aoi cukup populer lho...”
sambutnya
“cowok itu? yang pakai piercing itu?” kata Mizu setengah
tidak percaya.
“kamu bukan orang pertama yang terus-terusan
memperhatikan Aoi” kata Inochi lagi. “orang itu... punya aura! Hahaha!” kalimat
inochi berakhir dengan tawa.
Aoi. Namanya Aoi. Bukankah itu artinya ‘biru’?
“jadi namanya Aoi?” kata Mizu setelah lama mereka
diam
“hahaha.... tuh kan, kamu penasaran!” kata Inochi.
“iya, namanya Shiroyama Yuu, tapi teman-teman memanggilnya Aoi” jelas Inochi
Mereka berdiam lagi.
“ne! Kau... benar tidak tertarik dengan Aoi?”
tanya Inochi tiba-tiba dan membuat Mizu kaget dengan pertanyaan itu. walaupun
telah berteman cukup lama, mereka jarang mengobrolkan tentang cowok, sehingga
Mizu cukup kagok ketika Inochi menanyakannya.
“ah... ehm. Entahlah, kurasa aku hanya penasaran
karena aku sering melihatnya” kata Mizu menerangkan perasaannya “kenapa? Kau
menyukainya? Dekati saja...” sambung Mizu Reflek. Saat itu Mizu bahkan tidak
memikirkan omongannya saat mengucapkannya, dimana karena kalimat inilah
beberapa tahun berikutnya dia paham makna ‘menyesal’ sesungguhnya
“ah, aku-“ kata Inochi terpotong karena salah
seorang temannya memanggil,
“Inochi, kau dicari senior klub basket”
“haah~? Kenapa?” katanya tampak frustasi “tunggu
sebentar Mizu, aku akan segera kembali”
Dan Inochi menghilang tanpa sempat menjawab pertanyaan
Mizu tersebut.
Cowok itu –aoi- merupakan Anggota tim baseball
sekolah, dari informasi yang dikumpulkan Mizu. Aoi ditulis dengan kanji yang
berarti jenis bunga yang terdapat di jenis pohon hiasan. Mizu jadi punya
kebiasaan memperhatikan Aoi di sekolah maupun di kereta. Mungkin Inochi benar.
Mungkin... Mizu telah jatuh cinta pada Aoi.
Tahun demi tahun terus berlalu, tanpa Mizu
sekalipun menyapa Aoi. Dan hal ini membuatnya kesal, meruntuki dirinya begitu
pengecut karena bahkan bagaimanapun setiap inci tubuhnya merasakan kehadiran
Aoi, tetap saja bagi Aoi dia Mizu tidak terlihat. Bagaimana pun dengan sudut
matanya dia Memperhatikan Aoi, tetap saja Aoi tidak menyadari kehadirannya. Setidaknya
begitu teori Mizu. Tapi bukankah pertamakali Mizu menyadari keberadaan Aoi,
Inochi berkata bahwa Aoi sedang memperhatikan Mizu? Terkadang Mizu selalu membayangkan bagaimana
mereka akan bertegur sapa. Dalam berbagai versi di khayalannya.
Sore itu Mizu pulang dari latihan klub basketnya
dan berjalan sendirian di rute biasa yang dia lewati sebelum menuju stasiun.
Pemandangannya oranye dan bibi yang menjual manisan menegurnya dan bocah-bocah tk berlarian dengan kincir angin
mereka. Itu adalah sore yang cerah dan Mizu sedang dalam penampilan terbaiknya.
Dia memasuki kereta seperti biasa dan saat
akhirnya dia hampir sampai di stasiun tujuannya...
“ah, ano....” seseorang mengetuk pundaknya pelan
dan Mizu menoleh. Dia mendapati Aoi berdiri menjulang dan mengangsurkan dompet
tipis miliknya. “ini milikmu kan? Kurasa terjatuh saat orang tadi lewat” kata
Aoi lembut, dia memiliki suara yang cukup dalam dan berat.
“ah... namaku Shiroyama Yuu” katanya lagi.
“namamu?”
Dan begitulah salah satu versi khayalan
Mizu, pipinya memerah sendiri saat membayangkan khayalan itu.
“hei, kamu kenapa? Demam?” tanya Inochi
melihat Mizu menyapu kelas sambil tersenyum. Mizu hanya menggeleng, tidak
mungkinkan dia memberitahu Inochi bahwa dia membayangkan Aoi. Mereka telah
beranjak ke tahun terakhir di sekolah mereka, tidak terasa waktu hanyut begitu
saja. dan Mizu masih mengubur perasaannya pada Aoi.
Bagaimana mungkin? Tanpa sekali pun Aoi
menoleh kepada Mizu, padahal sehari mereka bertemu lebih dari 2x. Mungkin
memang tidak nasib mereka untuk bertemu. Atau memang Mizu sangat pengecut.
“Mizu akan pergi ke Tokyo ya setelah
lulus?” kata Inochi.
“hmm... kelihatannya begitu. Pendidikan di
tokyo lebih bagus kan?” kata Mizu menyambut pertanyaan temannya. Ada sebersit
perasaan kecewa di nadanya dan... ah, keliru kah Mizu? Ada nada tidak senang
juga.
“ne... kau benar tidak bisa pergi ke Tokyo
juga ya?” tanya Mizu ke Inochi begitu inochi mengalihkan pandangannya ke luar
kelas. Dia memaklumi bahwa temannya mungkin jengkel karena tidak bisa pergi
bersamanya.
“tidak, aku tidak bisa pergi ke Tokyo.
Menurutku tokyo terlalu keras dan... pokoknya tidak bisa deh” kata Inochi lagi.
Tiba-tiba dia memeluk Mizu “aku tidak ingin pergi ke Tokyo!” sambungnya
“ne, pergilah ke Tokyo jika memang kau
merasa mimpimu disana, lakukan dengan sepenuh hati apapun yang kau kerjakan”
dia melepaskan Mizu dan memandang sahabatnya itu dengan perasaan sayang
“pergilah, jaga dirimu dan... dapatkan kembali sesuatu yang berharga untukmu”
★
Kau tampak begitu tekun menghadapi bukumu,
terbata-bata mengucap dalam bahasa Inggris dengan aksen jepang sangat kental, yang
sangat lucu menurutku.
Kamu selalu bisa menjadi penghiburku, entah
bagaimana cukup dengan melihatmu di sampingku membuat aku tersenyum. Mungkin
semacam penghibur diri sendiri, bahwa kau tidak sepenuhnya meninggalkanku.
Ya kan, Aoi?
Mengingat tentang mirisnya kita seperti sedang menyanyikan lagu sedih yang sangat emosional,
kau tau? Lalu tiba-tiba, -pets! Lagunya berhenti. Petikan gitar meredup,
gesekan biola semakin buram, bahkan denting piano semakin mengabur. Lagu
menghilang bahkan sebelum memasuki bagian Chorus. Aku tidak pernah tahu apa
yang pernah ada dan yang tidak pernah ada diantara kita.
Matamu yang hitam dan tajam, dan rambutmu. Aku
bisa melihatnya sampai hari ini, sampai detik ini. serpihan-serpihan yang
selalu membangkitkan kenangan-kenangan kita. Maksudku... <i>kenanganku tentangmu</i>. Bagaimana
tidak? Perasaan ini meluap bahkan hingga saat-saat terakhir. Aku menatapi mata
yang tajam itu tertunduk mengahadapi bukunya, masih. Dan sebagaimana aku masih
terpukau setelah semuanya terjadi, aku masih terus memandangi mata itu. itu
matamu Aoi...
Terkadang aku tidak bisa percaya pada siapapun,
tapi kurasa itu hanya karena aku tidak ingin percaya. Bahkan pada waktu, aku
tidak percaya bahwa waktu dapat menjawab semuanya. Terkadang... waktu membuai
dan memberikan mimpi, membawa kita mengalir bersamanya. Dan begitu tersadar waktu sudah berlalu dan tidak ada yang
berubah.
Tidak ada yang berubah. Aku masih terpisah dengan
orang yang kusayangi. Orang-orang yang kusayangi.
“mizu-chan?”
Aku terkejut dari lamunanku. Benar saja, aku sudah
dibawa waktu menonton kenangan-kenangan kita. Kamu pasti merasa heran karena
tanpa sadar daritadi aku menatap ke arahmu. Aku tersentak dan mendapati
kenyataan yang akhirnya terhampar di depanku. Mata itu memang matamu, tapi
bukan kamu Aoi. Mata itu kini berada pada anakmu. Tahukah kau rasanya sakit
seperti ini? Itu seperti luka yang takkan pernah kering. Tetap perih karena
serbuk-serbuknya penyesalan tetap bertebaran di atasnya.
Bukankah lebih baik jika semua segera berlalu?
“mizu-chan apaan? Okaasan(ibu) dayo!!” kataku
gemas dan menghambur rambutmu. Sesuatu yang tidak sempat kulakukan lebih banyak
saat bersama<i>mu<i>.
Akio, seperti yang sudak kuceritakan sebelumnya,
telah tinggal bersamaku di saat di Jepang setahun dan New York selama 3 tahun belakangan.
Dan mungkin karena pengaaruh masa lalu-nya atau karena dia tinggal bersama
orang asing, bahasa inggrisnya belum juga lancar.
Dia adalah anak Aoi dan Inochi.
“huuh! Haruskah Akio memanggilmu Okaasan?” katanya
sambil menggembungkan pipinya. Pensil di tanganya digenggam, kurasa siap
dilemparkan kepadaku.
“hahaha” kataku tertawa. Dan benar saja, sedetik
kemudian pensil itu terbang ke arahku. “oi! Jangan!” kataku menepuk pipinya, menghilangkan
gembung di pipinya.
“Akio kan sudah berteman lama dengan Mizu-chan.
Rasanya tidak enak memanggilmu Okaasan” katanya sambil memungut pensilnya.
“lagipula, kau kan bukan ibuku”
Kata-kata seorang bocah memang terlalu jujur, dia
berbicara tanpa penyaring dan terkadang menyakitkan. Aku menyerah, lagipula
moodku sudah rusak dengan kalimat terakhirnya. Dan kenapa aku harus
memaksakannya untuk memanggilku ibunya? Anak ini mungkin memang mempunyai hati
seperti ibunya. Keras, egois, dan... oh, apakah mungkin aku yang egois?
“baik, baik. Panggil saja terus Mizu-chan” kataku
kembali acuh pada pekerjaan di laptopku. Tanpa sadar nada bicaraku menjadi
ketus.
“mm... Mizu-chan?” panggil Akio lagi setelah lama
kami berdiam. Aku menoleh menatapnya dan dia memandangiku dengan matamu.
“uh, Akio minta maaf, i’m so sorry Mizu-chan”
katanya tertunduk
“iie, daijobu” kataku singkat.
“uhm... aku akan tidur duluan” katanya sambil
memasukkan peralatan sekolahnya. Aku mengangguk sekilas.
Aku seharusnya tidak meluapkannya pada Akio. Aku
seharusnya tidak berusaha bermain dengan khayalanku. Mencoba membuat keluarga
imajiner dengan Akio dan Aoi. Aku seharusnya tidak melibatkan akio dengan
khayalanku. Aku harus berhenti menganggap Akio adalah serpihan Aoi yang
ditinggalkan sebagai entah hadiah atau apa.
Kenop pintu yang terbuat dari besi terasa dingin
begitu menyentuh kulitku. Aku memutarnya dan mendapatimu tertidur di bawah
selimut. Mata itu sekarang tertidur.
★
Aku tidak pernah merasakan bagaimana persisnya
merasakan hidup, sampai kalian memberiku Akio. Malam itu senja baru saja lolos,
dan.. gerimis. Ya, bagaimana aku lupa dengan gerimisnya? Aku sedang dalam
penampilan terbaikku. Dan... pintu apartemenku diketuk. Aku pikir itu kiriman
barang atau salesman yang menawarkan produk bulanan, karena aku sangat jarang
punya tamu di Tokyo. Semenjak berpisah dari Inochi, kurasa... aku jadi lupa
bagaimana caranya berteman. Membangun hubungan mulai dari nol.
Dan, begitu saja. kau muncul di hadapanku dengan
payung di tangan yang satu dan... apakah aku salah? Seorang bayi?
Jaket kulitmu berkilap karena hujan, dan kau
merengkuh dengan erat bayimu berusaha memberikannya kehangatan. Benar-benar
jauh melenceng dari perkiraanku. Ataupun khayalanku.
“permisi. Apakah anda benar Mizu Oriyuura?” katamu
malam itu, dengan nafas yang hampir menjadi uap aku terpaku di depan pintuku
mendapati seseorang yang sekian tahun -6 tahun jika kuhitung- samar-samar dalam
ingatanku tentang kenangannya, dan tiba-tiba kau di depan pintu rumahku, dengan
seorang bayi.
Demi tuhan benar-benar datang tiba-tiba seperti
hujan!
“aku Shiroyama Yuu” katamu.
<i>apakah ini khayalan atau kenyataan?</i>
“ah... eh, maaf kau pasti telah melupakanku,
aku... aku pernah mengenalmu di SMA dulu, kau tahu?” katanya lagi dan aku masih
tercengang.
“er... kau pasti tidak mengenalku ya, karena
memang aku tidak pernah menegurmu sebelumnya. Hahaha” kata Aoi tertawa canggung
malam itu.
“ah, tunggu, biar kita lanjutkan di dalam saja”
kataku membukakan pintuku lebih lebar dan kau bersama bayimu masuk. Aku segera
mengambil selimut dan membuatkan kopi hangat untukmu.
“ah... ano mungkin ini mendadak, tapi aku entah
mengapa selalu tahu bahwa kau memperhatikanku di SMA dulu” katamu dengan bayi
itu tertidur di pangkuanmu. Aku mengalihkan pandanganku ke arah bayi itu agar
kau tidak perlu melihat tampangku tersipu.
“ahaha, kau pasti merasa aneh harus berbicara
dengan orang asing ya?” katanya sambil tertawa
“ah... tidak juga”
Setelah itu hening. Aku menyeruput kopiku dan
masih memandangi bayi yang tertidur nyenyak di pelukanmu. Sebentar-sebentar
bayi itu menggeliat, begitu mungil, begitu murni.
“hei, bisakah kau menjaga bayiku untuk sementara?”
katanya terbata lagi “aku sedang sangat sibuk belakangan dan hanya kamu yang
kukenal di Tokyo”
Aku membisu, lalu dengan gugup bertanya “dan...
dimana ibu anak ini? Apa dia anakmu?”
“ah... ibunya Sakit dan masih belum bangun setelah
melahirkannya, namanya Akio. Dia... dia anakku” katamu. “istriku berkata dia
punya sahabat baik dahulu kala... dan, Tuhan aku tidak ingin ini terjadi, tapi
dia berpesan jika sesuatu terjadi dengannya, aku bisa mempercayakan temannya
itu...” kata-kata Aoi menggantung.
“ibunya... sahabat baikku?” kataku tidak percaya,
satu-satunya sahabat yang aku punya dulu saat SMA dan kurasa cukup dekat hanya
Inochi Motokawa “siapa...??” kataku bertanya lebih kepada diriku sendiri.
“Inochi... Inochi Motokawa, kau lupa?”
Dan saat aku mendengar Aoi telah mempunyai
keluarga, aku kaget. Terlebih karena Istrinya adalah sahabatku dulu. Kenapa?
Jika Inochi benar-benar tahu perasaanku, kenapa dia menikah dengan Pria yang
kucintai selama hampir sepanjang masa SMA-ku? Dia tahu kan? Dia bisa membaca
perasaanku kan? Dia sahabatku kan?
Perasaan
yang dulu selalu kupendam dan kucoba menghilangkannya kembali muncul dan bahkan
semakin besar. Sempat terbersit dalam pikiranku untuk berharap supaya Istri Aoi
tidak usah bangun saja!
<i>aku
benar-benar kejam, ya?</i>
Namun disisi lain, aku
juga meruntuki diriku sendiri yang tidak sempat menyampaikan perasaanku pada
Aoi. Tiba-tiba saja bayi yang sebelumnya kulihat begitu mungil berubah jadi
bayi yang membuatku merasa marah, membuatku merasa bayi itu adalah bagian lain
dari inochi, sehingga tanpa sadar aku mengarahkan pandangan tajamku ke bayi
itu.
“ah... begitu? Pasti berat ya buat Aoi untuk
menjaga seorang Bayi ditengah kesibukan” kataku lagi. “mm... baiklah aku akan
menjaganya”
“benarkah?” Aoi terlihat senang, senyumnya
mengembang dan tanpa sadar mukaku menjadi hangat. Aku rasa aku memang ingin
membuatnya bahagia. Sekejap saja, semua rasa benci yang sedetik lalu tertimbun
di hatiku menguap, begitu aku tahu bahwa orang yang kubenci –sahabatku– dan
bayi ini adalah orang-orang yang dapat membuat orang yang kucintai bahagia.
★
Aku membelai rambutnya yang tertidur di
remang-remang. Bagaimanapun, aku menyayangi anak ini.
Perasaan sekelebat ingin menyingkirkan ibunya pun
telah hilang. <i>menyingkirkan. aku terdengar keajm sekali ya?</i>
Perasaan itu akhirnya hilang karena akhirnya Ibunya meninggal setelah 2 bulan
koma karena kondisi tubuhnya setelah melahirkan Akio semakin memburuk.
Ibunya adalah sahabatku kan? Aku tidak seharusnya
berpikiran seperti itu. tap,i Inochi, perasaan ini selalu ada. Aku tahu bukan
salahmu karena Miai(perjodohan) yang terjadi, tapi setidaknya, apakah tidak ada
rasa bersalah dalam dirimu karena menikahi pria yang kucintai?
Entah bagaimana nasib melemparkan dadunya, membuat
pion-pion bergerak hanya berdasarkan keinginannya, entahlah. Aku tidak
mendengar kabar dari Inochi semenjak kami lulus dan aku berpisah. Beberapa kali
aku mengiriminya surat maupun e-mail yang tidak pernah dibalas. Semuanya
terjadi tanpa aku mengetahui awalnya. Inochi dijodohkan dengan Aoi dan mereka
menikah.
Dan saat aku menanyakan apakah dia akan mendekati
Aoi saat itu, aku juga tidak tahu apakah Inochi benar-benar menyukai Aoi bahkan
diluar Miai.
Aku mendengar sekilas dari Aoi bahwa sewaktu SMA
dia berpisah dengan pacarnya karena gadis itu tidak bisa ikut dengannya ke
Tokyo. Namun dia bertemu dengan gadis itu tahun lalu saat tanabata dan kembali
jatuh cinta dengannya. Jadi... gadis yang dimaksud Inochi dan Inochi masih
menunggu Aoi?
Dan lahirlah Akio, lalu Inochi dikabarkan
meninggal setelah malam gerimis itu. hingga malam itu, aku tidak mengetahui
apa-apa tiba-tiba diceritakan sebuah cerita panjang. Mungkin memang lebih baik
jika aku tidak mengetahui awalnya.
Aku menegcup rambut Akio sekilas dan pergi keluar
dari kamar tidur dan ke ruang tengah. New York sedang diguyur hujan. Aku
menghidupkan televisi dan mulai memencet-mencet saluran, ketika aku mulai
berada di daerah saluran tv berbahasa jepang aku menemukan siaran mengenai
laporan konser. Sebentar kamera menyorot audiens yang ramai. Rata-rata
pengunjungnya adalah remaja perempuan yang sedang mengibas-ngibaskan rambut
mereka yang panjang dan lurus. Budokan sedang diguncang konser dari Final Tour Band
itu.
Mataku sejenak mengarah ke sisi kiri panggung dan
melihat gitaris dengan rambut hitam.
Aoi.
“mizu-chan?” tiba-tiba akio sudah keluar kamar dan
dia turun dari ranjang dengan kaki telanjang di tengah cuaca yang sangat dingin
ini.
“Akio... mana kaus kakimu?” kataku kaget
Dia naik ke sofa dan bergelung di sampingku.
“tidak tidur?” dia menggeleng
“aku kedinginan” katanya, dan aku melingkarkan
tanganku ke sekitar pundaknya.
Setelah itu kami kembali menonton konser tersebut.
Walaupun lagu yang sedang dibawakan adalah lagu dengan nada riang, ruangan
hening digantungi rasa tidak nyaman.
Mungkin rindu, mungkin benci, mungkin juga sedih.
“okaachan” panggil Akio, dan aku tersentak “aku
sayang padamu”
“ne... Akio ingin menjadi seperti ayah suatu
hari?” kataku sambil memperhatikan Aoi yang memainkan gitar dengan semangat.
Sesekali ia ikut melakukan headbang dengan teman-teman satu bandnya.
Akio berfikir agak lama, “tidak. Aku tidak ingin
kembali ke jepang” katanya dengan keluguan anak berumur 7 tahun.
Setelah itu aku tahu bahwa Akio pasti memiliki
ketegaran milik Inochi.
Aoi tidak gaje, tapi Aku dan FF ini sangat gaje~~
(T_T) >>> (@_@) >>> (o,O)’a >>> (o‸o) >>> (⁰△⁰) >>> b(=_=)d >>> (>,<)oo >>> v(^_^)v
(T_T) >>> (@_@) >>> (o,O)’a >>> (o‸o) >>> (⁰△⁰) >>> b(=_=)d >>> (>,<)oo >>> v(^_^)v
***translate from expressions to word***
(aku tau FF ini gaje) >>> (tanggapannya
...) >>> (heh? Aneh yak?!) >>> (kan tadi aku
dah bilang ini gaje) >>> (ah.. em... engg... gajadi deng) >>>
(syukurlah dibaca ampe abis) >>> (aihh!!! Aku jadi malu~!)
>>> (comments
and critics are always
appreciated)